Riaumandiri.co - Kapal kargo jenis bulker bernama Gibraltar Eagle yang dimiliki dan dioperasikan Amerika Serikat (AS) diserang menggunakan rudal balistik anti-kapal saat sedang berlayar di Teluk Aden, Senin (15/1) lalu. Kelompok Houthi Yaman mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
“(Houthi) melakukan operasi militer yang menargetkan kapal Amerika,” kata juru bicara militer Houthi, Yahya Saree, dikutip laman Al Arabiya. Dia menyebut, sejumlah rudal angkatan laut yang sesuai digunakan dalam serangan itu.
Sementara itu operator kapal Gibraltar Eagle, Eagle Bulk Shipping, dalam keterangannya mengungkapkan, Gibraltar Eagle terhantam proyektil tak dikenal saat berlayar 100 mil dari Teluk Aden. “Akibat hantaman tersebut, kapal itu mengalami kerusakan ringan pada ruang kargo, tapi stabil dan sedang menuju keluar dari area tersebut,” kata Eagle Bulk, seraya menambahkan bahwa Gibraltar Eagle membawa muatan produk baja.
Eagle Bulk mengungkapkan, tak ada awak kapal yang terluka akibat serangan tersebut. Serangan terhadap Gibraltar Eagle menunjukkan bahwa Houthi tak ciut menghadapi AS. Pada Senin lalu, Houthi mengatakan, serangan militer AS yang membidik fasilitas milik mereka di Yaman tidak efektif. Mereka pun menyatakan siap terlibat pertempuran terbuka dengan Negeri Paman Sam.
“Kami memberi tahu Amerika bahwa agresi Anda terhadap Yaman akan gagal. Kami akan menghadapi agresi AS dengan sekuat tenaga, dan mereka akan meninggalkan kawasan ini dalam keadaan kalah,” kata Ali al-Qahoum, anggota Biro Politik Houthi, dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency, Senin lalu.
“(Houthi) bersiaga untuk terlibat dalam pertempuran terbuka melawan Amerika,” tambah al-Qahoum.
Dia mengatakan, serangan AS ke Yaman belum memberikan dampak. Namun al-Qahoum menegaskan, bahwa tindakan Washington telah melanggar hukum internasional dan kedaulatan Yaman. “Amerika akan menyesali agresi mereka dan akan menanggung akibatnya,” ucapnya.
Pekan lalu, Houthi telah menyatakan akan membalas serangan militer AS dan Inggris ke Yaman. “Agresi Amerika dan Inggris tidak akan luput dari ganjaran,” kata Houthi dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Middle East Monitor.
Pernyataan itu dirilis beberapa jam setelah AS melancarkan serangan kedua ke Yaman pada Sabtu (13/1) lalu. “Agresi terang-terangan Amerika dan Inggris, yang datang untuk mendukung entitas Zionis, tidak akan menghalangi Yaman untuk melanjutkan operasi militernya melawan musuh Israel dan mencegah kapal-kapalnya serta kapal-kapal lain menuju pelabuhan-pelabuhan Palestina yang diduduki,” ujar Houthi.
Pada Sabtu pekan lalu, AS kembali meluncurkan serangan ke Yaman. Seperti sebelumnya, serangan terbaru membidik situs atau fasilitas milik kelompok Houthi. Komando Pusat AS (CENTCOM) mengonfirmasi serangan tersebut di X (Twitter). “Pada pukul 03.45 (waktu Sanaa) tanggal 13 Januari, pasukan AS melakukan serangan terhadap situs radar Houthi di Yaman,” ungkap CENTCOM dalam unggahannya.
Pada Kamis (11/1), AS dan Inggris sudah melancarkan serangan udara ke beberapa wilayah di Yaman, termasuk ibu kota Sanaa. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengungkapkan, dalam serangan tersebut militer negaranya menargetkan fasilitas yang terkait dengan kendaraan udara tak berawak atau drone, rudal balistik dan jelajah, serta kemampuan radar pesisir dan pengawasan udara milik Houthi. Serangan tersebut merupakan tanggapan AS dan Inggris atas masih berlanjutnya serangan Houthi ke kapal-kapal dagang di Laut Merah.
Sejak pertengahan 19 November 2023, kelompok Houthi telah meluncurkan puluhan serangan rudal dan drone ke kapal-kapal komersial yang melintasi Laut Merah. Houthi mengklaim mereka hanya membidik kapal-kapal milik atau menuju pelabuhan Israel. Serangan terhadap kapal-kapal tersebut merupakan bentuk dukungan Houthi terhadap perjuangan dan perlawanan Palestina.
Sejak Houthi aktif menyerang kapal-kapal di Laut Merah, sejumlah perusahaan kargo memutuskan untuk menghindari wilayah perairan tersebut. Perubahan jalur laut dengan menghindari pelayaran melintasi Laut Merah dapat menyebabkan penundaan pengiriman kargo dan memicu kenaikan ongkos pengiriman. Hal itu karena Laut Merah merupakan jalur terpendek antara Asia dan Eropa melalui Terusan Suez. Laut Merah adalah salah satu jalur laut yang paling sering digunakan di dunia untuk pengiriman minyak dan bahan bakar.