Momen peringatan peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammmad SAW yang jatuh pada 14 Mei teramat bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita meluangkan waktu sejenak untuk mengenang dan mengkaji kembali perjalanan spiritual nan suci ini, sesungguhnya peristiwa Isra Mikraj dalam pandangan awam saya tidak hanya sekadar dalam tataran ibadah. Akan tetapi merupakan pondasi bagi perjalanan umat Islam khususnya dan manusia umumnya.
Karena salat, sebagai pesan paling substansial yang dibawa Nabi Muhammad SAW punya dua dimensi. Di samping vertikal juga horizontal. Mengenai vertikal kita sudah mahfum akan hal itu. Namun rupanya sisi tersirat jauh luar biasa. Melalui salat, gerak dan makna ucapan, kita seperti dibentuk untuk menjadi pribadi yang mampu melihat lingkungan sekitar secara sosial.
Atas dasar itulah, benar ketika seorang bijak pernah berkata bahwa apabila salat terlalaikan dari tengah kehidupan masyarakat, maka hal itu dapat diartikan seperti sebuah kontrak kehancuran bagi masyarakat tersebut. Ketika kita dibekali potensi dan kemampuan untuk
Karena memang salat rangkuman kebutuhan dalam kehidupan kita. Dalam rangkaian ibadah salat dapat kita temukan integrasi antara hubungan dengan Allah SWT dengan kehidupan sosial. Mungkin diantaranya yang bisa diambil contoh: salam pada akhir salat, yang mana menengok ke kanan dan ke kiri. Selain rukun gerak salat, dalam ceramah-ceramah banyak yang mencoba memaknai ini sebagai penanda pentingnya solidaritas dan silaturahim.
Privasi Semata?
Kita seringkali tertipu dan disusupi pemikiran yang menyempitkan salat salah satunya sebagai bagian dari kehidupan pribadi dan tak ada efeknya bagi keseharian. Memandang ibadah dalam porsi lingkup privasi tidak sepenuhnya salah, bila itu dimaksudkan sebagai cara mendekatkan diri.
Namun akan menjadi keliru bila memisahkan salat dan ruang implementasinya. Memisahkan keduanya sama saja mengurangi esensi shalat itu sendiri, yang konsekuensinya efek positif jelas tidak akan dapat dirasakan. Dan, dengan pemahaman sepotong-potong tadi, maka yang muncul kemudian memandang ibadah sekedar kesalehan individu.
Lantas di mana ruang sosial dari ibadah tersebut? Bukankah dulu Rasulullah dan para sahabat merupakan orang yang sangat peduli dengan lingkungan mereka? Yang bahkan membuat mereka merasa perlu menguasai kursi pemerintahan demi melayani masyarakat dan umat. Artinya kesalehan individu ini diharapkan akan membuat mereka semakin peduli. Buat apa sosok manusia saleh secara ritual, namun dengan potensi dan kekuatan yang dimilikinya tidak memberi dampak dan manfaat lebih luas bagi orang lain.
Menyeluruh
Jelaslah, bahwa Islam tidak menyekat dimensi dalam ruang kehidupan. Apa yang bernilai dan berdampak kemaslahatan bagi orang banyak maka di situ seorang muslim hendaknya hadir. Ini pulalah yang dapat dinukilkan lewat peristiwa Isra Mikraj. Bagaimana kenikmatan beribadah tidak mengenyampingkan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Salat bukan semata diartikan rutinitas ritual. Namun yang terpenting bagaimana salat juga berorientasi secara praktis ke ranah praktik, menyampaikan “salam” kepada lingkungan sekitar. Inilah kemudian diistilahkan dengan Islam yang menyeluruh. Sosial, ekonomi, politik, budaya dan dimensi lainnya merupakan wadah bagi yang ingin menghambakan diri secara total kepada Rabnya. Dari sisi, kesimpulannya adalah konsep penghambaan dalam shalat seharusnya dibahasakan ke ruang kehidupan, dengan mewujudkan Islam sebagai rahmat sekalian alam.
Semoga lewat tulisan dengan pemahaman sederhana ini menjadi sarana sampainya nilai Isra Mikraj ke masing-masing kita. Meski sebagai manusia keimanan kita tak selalu berada di garis lurus. Ada saat di mana keimanan naik dan adakalanya menurun.
Namun setidaknya dengan berupaya menjaga salat bisa menjadi bekal bagi akhirat kelak. Karena salat juga bekal berharga yang menuntun kita bermanfaat bagi umat Islam dan orang banyak lewat karya di ruang publik.
Oleh: H Husni Thamrin, SH, MH(Ketua Fraksi Gerindra Sejahtera DPRD Provinsi Riau).