RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengingatkan Pemerintah untuk waspada dan jangan mau didikte pihak asing terkait implementasi program transisi energi menuju net zero emission (NZE) tahun 2060.
Sebagai negara berdaulat, kata Mulyanto, Indonesia tidak boleh mengorbankan kepentingan nasionalnya dengan tunduk pada permainan yang digelar bangsa lain. Kepentingan kesejahteraan dan keamanan bangsa dan negara harus diutamakan.
Pemerintah jangan memaksakan diri mengejar target NZE tersebut bila membahayakan keuangan negara. Apalagi hingga saat ini komitmen negara-negara maju terkait program tersebut juga tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
"Itulah kondisi yang ada. Negara maju seperti AS berjanji untuk membantu dalam skema JETP (just energy transition program) sebesar Rp300 triliun. Namun nyatanya, dari sejumlah itu hanya Rp2 triliun yang bersifat hibah. Selebihnya mencapai 99 persen berupa pinjaman dengan bunga komersil," kata Mulyanto dalam Orasi Wisuda Ahli Madya dan Sarjana Universitas Muhammadiyah Banten, di Puspiptek, Serpong, Sabtu (23/12/2023).
Mulyanto menambahkan utang dalam bentuk proyek berbunga komersil tersebut juga datang dengan barang-barang impor yang menggerus tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
"Belum lagi harga energi dari sumber pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) masih relatif mahal dibandingkan dengan sumber energi fosil, seperti batu bara yang justru keberadaannya masih berlimpah di Indonesia," kata ungkap Mulyanto.
Dia mengingatkan, kalau transisi energi ini tidak dikelola dengan hati-hati akan muncul bayang-bayang kekhawatiran bahwa tarif listrik yang semakin mahal, harga bahan bakar yang semakin tinggi, sumber daya batubara yang menganggur, impor yang menggila dengan TKDN yang semakin rendah, serta utang yang menggunung.
"Bila kita salah dalam mengelola berbagai perubahan global ini, maka pertumbuhan ekonomi kita terancam akan semakin merosot di bawah angka 5 persen. Alih-alih menjadi negara maju di tahun 2045, justru ekonomi kita akan anjlok menjadi negara dengan lower middle income," kata Mulyanto.
Inilah perubahan lingkungan strategis kita secara global. Kompetisi berubah menjadi surpetisi, sebuah persaingan dimana “rule of the game” serta “meja pertandingan” berada di luar kendali kita. Kita menjadi seperti pengikut yang terkena dampak, ketimbang aktor perubah yang determinan," ulasnya.
Karena itu Mulyanto mengajak kalangan akademisi berkontribusi memikirkan dan mencari solusi orisinal bagi persoalan-persoalan ini. Selain itu, akademisi dituntut untuk menghadapi surpetisi global seperti ini dengan waspada.
"Jangan sampai didikte oleh berbagai kepentingan negara maju, yang akhirnya hanya akan merugikan national interest Indonesia, yang secara langsung akan melemahkan kita secara politis," katanya. (*)