RIAUMANDIRI.CO - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyoroti dua isu penting yang kerap muncul di tiap gelaran pemilihan umum (pemilu), yakni isu keumatan dan kebangsaan yang selalu dipertentangkan.
Anis menilai meski situasi sekarang dirasa jauh lebih tenang dan lebih kondusif, namun kondisi Pilpres 2024 tetap ada bibit ketegangan yang bisa mengancam disintegrasi bangsa.
"Sebenarnya semangat kebangsaan dan keumatan ini tidak perlu kita polarisasi. Kita bisa menyatukannya kalau kita punya kedewasaan kesadaran berbangsa," kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk 'Pilpres 2024: Menyatukan Semangat Keumatan dan Kebangsaan', Rabu (20/12/2023) petang.
Diskusi yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gelora Dedi Miing Gumelar ini, dihadiri Tokoh Nasional Agum Gumelar dan pakar komunikasi Effendi Gazali sebagai narasumber.
"Jadi disinilah peran para tokoh sesepuh bangsa seperti Pak Agum Gumelar ini yang memposisikan dirinya sebagai pemersatu bangsa. Karena konsep mereka memang untuk memastikan bagaimana bangsa ini agar on the track," katanya.
Hal ini menurutnya, menjadi kata kunci dalam kesatuan dan keutuhan sebagai bangsa. Anis Matta menilai pembelahan di kanan, kiri dan tengah merupakan warisan politik jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Warisan pembelahan ini diperkuat lagi di zaman Orde Baru, karena partai-partai kanan dilebur menjadi satu, PPP. Sedangkan yang kiri dilebur menjadi PDIP, dan tengah ada Golkar," katanya.
Persoalan fundamental yang harus diselesaikan dalam jangka menengah dan jangka panjang terkait pembelahan, adalah masalah polarisasi politik. Polarisasi terjadi, pada dasarnya karena tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah.
"Tapi kalau kita lihat dalam masyarakat yang berpendidikan tinggi, rata-rata masyarakatnya lebih toleran, karena mungkin orangnya lebih sejahtera," katanya.
Karena itu, kata Anis Matta, masalah pendidikan dan kesejahteraan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia agar dapat memiliki masyarakat berpengetahuan dan sejahtera penduduknya secara ekonomi.
"Kalau kualitas masyarakat ada pada sisi pendidikan dan sisi kesejahteraannya sudah kita perbaiki, mungkin masyarakat tidak akan terlalu gampang lagi dipolarisasi dan akan mengedepankan semangat kebangsaan," katanya.
Selain itu, Anis memberikan catatan mengenai perbaikan sistem pemilu yang bisa menyerap identitas atau keragaman di masyarakat. Misalkan dengan menghilangkan threshold atau ambang batas.
"Dengan perbaikan sistem ini, supaya energi kita semuanya tersalurkan, semua orang puas dengan pilihan-pilihanya, walaupun tidak akan mencapai tujuannya. Tapi paling tidak akan menjaga kita semua sebagai bangsa," katanya.
Catatan lainnya adalah mengenai perdebatan soal batas usia capres/cawapres 35 tahun. Hal ini perlu menjadi diskursus dan bahasan ke depan, di mana apa yang sebenarnya menjadi dasar penetapan batas usia tersebut.
"Menarik juga kalau kita bongkar, karena di dalam Islam hanya dikenal soal batas usia, sebelum baligh dan setelah baligh. Begitu orang mencapai baligh, dia punya hak seluruhnya. Kalau di kita gampangnya sudah 17 tahun, itu sudah punya hak memilih dan dipilih. Ini masalah filosofi yang harus kita bahas," katanya. (*)