RIAUMANDIRI.CO - Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon dalam kapasitasnya sebagai Presiden 'South-East Asia Parliamentarians against Corruption' (SEAPAC), mendorong ASEAN untuk lebih tegas dalam membangun komitmen politik terkait anti-korupsi.
Berbicara sebagai salah satu panelis di the 10th Forum of Parliamentarians sebagai even khusus di the 10th Conference of the State Parties to UNCAC, Atlanta, USA, 11-15 December 2023, ia menyoroti mengenai ASEAN yang hanya memiliki sedikit referensi kebijakan regional terkait anti-korupsi. Cetak Biru Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN telah memasukkan isu antikorupsi sebagai salah satu elemen, namun, pernyataan tindaklanjut maupun kebijakannya relatif sedikit.
“Kebijakan antikorupsi ditemukan malah di ASEAN Convention Against Trafficking in Persons. Oleh karenanya, kebijakan ASEAN Pasca-2025 harus lebih tegas dalam isu antikorupsi. Termasuk dalam menciptakan arena setara bagi parlemen dan eksekutif di ASEAN,” tegasnya saat di dalam forum, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis (14/12/2023).
Presiden SEAPAC menegaskan keterlibatan Parlemen dalam mendukung pelaksanaan efektif dari beragam aturan UN Convention against Corruption (UNCAC) adalah sangat penting. Parlemen tidak hanya berfungsi untuk meratifikasi UNCAC tetapi juga untuk mempersiapkan beragam legislasi terkait UNCAC, pengawasan regular terkait pelaksanaan UNCAC untuk dapat mengetahui kekurangan dari kebijakan anti-korupsi, hingga mendukung ketersediaan anggaran untuk melaksanakan berbagai program anti-korupsi.
“Kerja Parlemen tidak hanya berhenti di ratifikasi UNCAC, justru baru dimulai setelah itu,” terangnya.
Ia menyoroti mengenai masih tingginya korupsi, meski UNCAC telah berjalan selama 20 tahun. Potret itu terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022. Di ASEAN, hanya satu negara dari sebelumnya tiga negara (pada 2020) tercatat memiliki nilai di atas 50. Oleh karenanya penanganan dengan pendekatan menyeluruh komunitas (whole of society approach), termasuk dengan melibatkan parlemen adalah keharusan.
Ini terlihat, misalnya, terlihat dari pendekatan kebutuhan legislatif dari UNCAC itu sendiri. SEAPAC, menemukan sedikitnya 20 aturan UNCAC memiliki terminologi jelas terkait perlunya memiliki langkah-langkah legislatif (legislative measures) atau langkah-langkah legislatif dan administratif atau lainnya (legislative and administrative or other measures).
“Belum termasuk hal-hal lainnya yang dapat diterjemahkan sebagai produk legislatif apabila dibutuhkan. Ini menunjukkan peran penting parlemen dalam melaksanakan UNCAC,” paparnya.
Hasil kajian singkat SEAPAC menemukan beberapa contoh keperluan legislasi seperti perlunya lima negara di Asia Tenggara untuk mengkriminalisasi suap kepada pejabat publik asing dan organisasi internasional. Dua negara perlu mengadopsi atau mengamendemen kriminalisasi atas obstruction of justice.
“Sedikitnya empat negara meminta bantuan UNODC untuk dukungan teknis terkait penyusunan legislasi, contoh UU, saran legislatif, yang kesemuanya merupakan bagian dari kerja-kerja parlemen,” urainya.
Ketua BKSAP ini menyarankan dua hal yakni membangun mekanisme domestik untuk review regular UNCAC dan mendorong Conference of the State Parties (CoSP) untuk memiliki kebijakan jelas dalam pelibatan anggota parlemen dalam mekanisme review UNCAC. (*)