RIAUMANDIRI.CO - Penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (FB) sebagai tersangka kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi oleh Polda Metro Jaya membuat pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol.
Sebab, menurut Konsulat Nasional Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Indonesia Harlans M Fachra, lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menangkal dan memberantas korupsi justru malah terjerumus sebagai pelaku utama, meskipun Firli mengajukan gugatan pra-peradilan.
“Proses pemeriksaan terhadap FB harus dituntaskan hingga pengadilan. Pihak Kepolisian perlu menjaga profesionalitas dan transparansi, jangan terpengaruh tekanan politik dari manapun. Sementara itu, pihak lain jangan melakukan intervensi karena ini menyangkut kredibilitas pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar Harlans dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/11/2023).
Dia meminta masyarakat terus mengawal proses hukum FB. Alasannya, kondisi sekarang agak berbeda dibandingkan saat muncul fenomena Cicak versus Buaya (perseteruan aparat Kepolisian vs KPK).
"Dulu masyarakat membela KPK hingga muncul gerakan #SaveKPK karena pihak Kepolisian terlihat menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingannya. Namun sekarang masyarakat memandang lebih penting menyelamatkan lembaga dan tidak terjebak kepentingan individu,” papar Harlans, pendiri West Java Corruption Watch (WJCW).
GeRAK Indonesia adalah aliansi organisasi antikorupsi di berbagai daerah yang sejak masa reformasi 1998 mengawal agenda pemberantasan korupsi, antara lain UU Antikorupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang menetapkan perlunya lembaga independen KPK.
Pada tahun 2003, eksponen GeRAK di seluruh Indonesia ikut mengawal proses pembentukan dan pemilihan Komisioner KPK periode perdana. Bahkan, aktivis GeRAK Aceh melaporkan kasus korupsi perdana yang ditangani KPK, yaitu melibatkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh.
“Pada awal berdirinya, KPK berinteraksi dan berkolaborasi dengan aktivis antikorupsi yang memiliki basis komunitas. Bahkan, kemudian muncul figur-figur berintegritas dari kalangan masyarakat sipil yang mendukung dan ikut memimpin KPK," kata Sapto Waluyo, aktivis GeRAK Indonesia, yang pernah menjadi anggota Tim Penyusun RUU KPK tahun 2002.
Setelah beberapa periode, dia menilai terjadi kemunduran karena pimpinan KPK menjadi rebutan bagi para pejabat dengan latar belakang kepolisian, kejaksaan, auditor publik atau pejabat kementerian.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Firli Bahuri sempat datang ke kantor KPK dan memimpin rapat. Hal itu menimbulkan keresahan bagi sebagian pimpinan dan pegawai KPK karena kepercayaan publik terhadap kredibilitas KPK akan terganggu.
Namun, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan tidak perlu malu dan tidak minta maaf, dengan alasan asas praduga tak bersalah dan proses hukum masih berjalan. Untung, ada Nawawi Pomolango Wakil Ketua KPK yang selama ini bersikap kritis dan menyatakan maaf kepada publik. Presiden Joko Widodo akhirnya memberhentikan Firli untuk sementara dan menunjuk Nawawi sebagai Ketua KPK. (*)