Riaumandiri.co - Korea Selatan (Korsel) menangguhkan kesepakatan militer yang ditandatangani dengan Korea Utara (Korut) pada 2018 lalu. Setelah Pyongyang mengabaikan peringatan dari Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya dan meluncurkan satelit mata-mata.
Pada Selasa (21/11), Korut mengatakan mereka berhasil meluncurkan satelit mata-mata ke orbit dan berjanji untuk meluncurkan kembali satelit serupa dalam waktu dekat. Foto-foto yang dipublikasikan kantor berita Korut menunjukkan Pemimpin Korut Kim Jong-un menyaksikan peluncuran tersebut.
Para pejabat Korsel dan Jepang, yang pertama kali melaporkan peluncuran tersebut, tidak dapat segera memverifikasi apakah satelit tersebut telah berada di orbit. Juru bicara Pentagon Sabrina Singh mengatakan, militer AS masih menilai apakah peluncuran tersebut sukses.
Pada Rabu (22/11), Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo mengadakan rapat kabinet dan dalam pidato yang disiarkan di televisi ia mengatakan pemerintah akan menangguhkan sebagian kesepakatan antar-Korea.
Presiden Korsel Yoon Suk Yeol sedang berada di Inggris untuk kunjungan kenegaraan. Sebelumnya, ia memimpin rapat Dewan Keamanan Nasional dengan sejumlah menteri dan kepala badan intelijen Korsel melalui sambungan video.
Kesepakatan yang bernama Kesepakatan Komprehensif Militer itu bertujuan menurunkan ketegangan di Semenanjung Korea. Perjanjian itu ditandatangani mantan presiden Korsel Moon Jae-in saat bertemu Kim Jong-un pada 2018.
Kedua belah pihak sepakat untuk memberlakukan zona penyangga di mana lima latihan dengan peluru tajam ditangguhkan. Kesepakatan itu juga memberlakukan zona tanpa-terbang, merubuhkan sejumlah pos penjagaan di Zona Demiliterisasi yang memisahkan kedua negara dan menjaga sambungan komunikasi antar-Korea.
Namun, kesepakatan itu semakin diperhatikan dan muncul seruan untuk menangguhkannya. Kritikusnya mengatakan, kesepakatan ini membatasi kemampuan Seoul mengawasi aksi Korut di perbatasan.
Dalam pernyataannya Dewan Keamanan Nasional Korsel mengatakan, penangguhan sebagian kesepakatan militer akan mengembalikan operasi pengintaian di sekitar garis demarkasi militer antara dua negara.
Kantor berita Korut, KCNA, melaporkan NATA mengatakan, satelit Malligyong-1 diluncurkan dari fasilitas peluncuran satelit Sohae pada Selasa (21/11) pukul 21.42 dan memasuki orbit pada pukul 21.54 waktu setempat.
Korut mengirimkan notifikasi ke Jepang mengenai peluncuran tersebut. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Adrienne Watson menyebut peluncuran itu "pelanggaran kurang ajar sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB."
"(Ini) meningkatkan ketegangan dan berisiko merusak stabilitas situasi keamanan di kawasan dan sekitarnya," kata Watson.
Peluncurkan Selasa kemarin merupakan yang pertama sejak Kim Jong-un bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin pada September lalu di fasilitas ruang angkasa Rusia. Saat itu presiden Rusia berjanji membantu Pyongyang membangun satelit.
Pejabat Korsel mengatakan, peluncuran terbaru kemungkinan melibatkan bantuan teknis dari Moskow. Sebagai bagian dari menguatnya kemitraan dua negara dengan imbalan Korut mengirimkan jutaan amunisi ke Rusia.
Namun, sejumlah pakar rudal mengatakan peluncuran ini terlalu cepat dilakukan untuk memasukan bantuan teknis Rusia. "Kami telah melihat bagaimana tepatnya ini beroperasi," kata pakar roket dari Science and Technology Policy Institute Korsel, Lee Choon-geun.
Rusia dan Korut membantah melakukan kesepakatan senjata, tapi dengan terbuka berniat memperkuat kerja sama.
Kantor berita Korut, KCNA mengatakan Kim Jong-un melihat langsung peluncuran terbaru yang dilakukan satu pekan Korsel berencana mengirimkan satelit mata-matanya sendiri ke luar angkasa dengan roket yang dioperasikan perusahaan AS, Space X.
Setelah peluncuran Mei lalu Korsel mengambil puing-puing satelit Korut dari laut. Seoul mengatakan, analisis menunjukan kemampuan pengintaian satelit itu terbatas.
Militer Korsel mengatakan mereka yakin roket yang diluncurkan Korut pada Selasa kemarin membawa satelit mata-mata dan diarahkan ke selatan. Melalui sistem penyiaran daruratnya, pemerintah Jepang memerintahkan kepada penduduk di Okinawa untuk berlindung di dalam gedung atau di bawah tanah.
Tapi kemudian Jepang mengatakan roket tersebut tampaknya telah terbang di atas dan melewati Okinawa menuju Samudra Pasifik dan mencabut peringatan daruratnya.