RIAUMANDIRI.CO - Melihat tren produksi minyak dan gas (migas) nasional yang terus menurun, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengingatkan pemerintah agar serius mempersiapkan RUU Minyak dan Gas.
Ia menilai banyak persoalan migas yang harus ditata ulang agar pengelolaannya efisien dan efektif. Salah satunya terkait peningkatan produksi migas di tengah transisi pelaksanaan dekarbonisasi energi.
"Seperti target lifting minyak 1 juta BPH, menurut saya, itu seperti mimpi. Faktanya target tahunan lifting ini terus turun dan realisasinya juga tidak 100 persen. Penyebabnya karena investasi dan daya dukung kita yang lemah untuk menarik investasi itu di era senjakala bisnis minyak," kata Mulyanto, Selasa (7/11/2023).
Dia menyebut kompetitor investasi di sektor migas sekarang ini bukan hanya yang bersifat tradisional, yakni kompetisi antar negara, tetapi juga kompetisi antara migas dan sumber energi baru terbarukan (EBT).
"Karenanya perlu kelembagaan yang kuat dan insentif yang atraktif. Apalagi adanya dampak negatif dari perang Rusia-Ukraina yang belum hilang. Kemudian juga, harga minyak dunia sekarang cenderung turun," ujar Mulyanto.
Dia mencontohlan harga minyak WTI terus turun. Sampai bulan Juli 2023 sudah menyentuh angka USD 67 per barel. Memanasnya kondisi Timur Tengah, ikut mengerek harga minyak ini. Puncaknya terjadi di Akhir September 2023 mencapai USD 97 per barel. Namun, setelah itu turun kembali menuju USD 80 per barel.
"Karenanya revisi RUU Migas perlu mengokohkan kelembagaan hulu migas agar badan ini semakin kuat, sesuai amanat MK, berfungsi sebagai doers sekaligus regulator," tegasnya.
Ia menjelaskan Badan ini harus mudah berkoordinasi dengan kementerian lain untuk mempermudah infrastruktur investasi, terutama terkait perizinan dan lahan. Selanjutnya bersama kementerian terkait badan ini dapat mengembangkan insentif yg atraktif bagi investor migas. (*)