RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menegaskan, pembahasan RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) terkendala sikap pemerintah yang lambat menyediakan materi pembahasan.
"Sejak awal pemerintah terkesan tidak serius membahas dan menghasilkan regulasi EBET ini. Sehingga target pengesahan RUU EBET yang tadinya dilakukan pada November 2022 hingga kini belum terlaksana," kata Mulyanto, Sabtu (28/10/2023).
Mulyanto menyebutkan setidaknya ada tiga penyebab lambatnya pembahasan dan pengesahan RUU EBET ini.
Pertama, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah yang terlambat masuk. Surpes tanpa dilampiri DIM.
Kedua, dokumen dan bahan yang diminta anggota panja kepada pihak pemerintah belum lengkap, sehingga menjadi tertunda.
Ketiga, di tahun politik memang fokus dan konsentrasi anggota panja lebih kepada persiapan pemilu.
Mulyanto menolak anggapan lambatnya pembahasan EBET ini karena ada campur tangan pimpinan parpol yang kurang setuju dengan pembahasan ini.
Mulyanto merasa selama ini pembahasan tiap-tiap DIM sangat terbuka dan objektif sehingga sulit untuk mengatakan bahwa ada cawe-cawe politik dari ketum parpol.
"Saya tidak melihat dan mencium tanda-tanda ikut campur itu. Tapi silahkan ditelusuri," kata Mulyanto.
Mulyanto menambahkan bahwa pembahasan RUU EBET ini memang sudah jauh melewati target waktu yang diharapkan. Selain karena sikap lambat Pemerintah, pokok bahasan dalam RUU ini juga cukup banyak, mulai dari penataan energi fosil, energi terbarukan dan energi baru yang akan muncul di kemudian hari.
Namun, DPR dan Pemerintah sudah menilai RUU ini satu kesatuan antara pengembangan energi terbarukan dengan energi baru, khususnya nuklir. Karena untuk based load, sulit menggantikan peran PLTU kecuali nuklir, mengingat sifat intermitten pembangkit sumber tenaga surya.
"Terkait power wheeling, memang tidak ada dalam DIM pemerintah atau DPR. Jadi ini tidak kita bahas. Tapi alhamdulillah pembahasannya sudah cukup maju," jelasnya.
Masalah yang masih belum bersepakat adalah soal fleksibilitas TKDN yang diajukan pemerintah. Dia minta jangan dibuat fleksibel, karena akan membuat ketergantungan kepada impor semakin tinggi.
"Saya minta kandungan lokal tetap harus sesuai dengan regulasi yang ada. Akhirnya saya minta dan sudah disepakati kita membawa soal ini untuk dibahas di tingkat rapat pleno. Kita juga akan mendengar pandangan kementerian perindustrian terkait soal ini," jelas Mulyanto.
Selain itu, Mulyanto melihat Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak serius membantu. Jaminan pendanaan murah untuk pendiun dini PLTU tidak jelas. Kalau menggunakan dana komersil jelas memberatkan pihak pembangkit/PLN.
Sementara itu penggunaan dana APBN untuk suntik mati PLTU juga tidak adil bagi sektor lain yg membutuhkan APBN. Agenda global ini harusnya dipikul bersama tertutama peran negara maju sangat vital untuk membantu aspek pendanaan.
"Sementara terkesan mereka sibuk dengan urusan domestik masing-masing, sehingga komitmen membantu negara berkembang dalam implementasi Net Zero Emission (NZE) ini terlihat lemah," kata Mulyanto. (*)