Riaumandiri.co - Banjir yang melanda bendungan pembangkit listrik tenaga air di timur laut Himalaya India membunuh sedikitnya 31 orang. Air sedingin es menyapu kota-kota pegunungan, menghanyutkan rumah-rumah dan jembatan, serta memaksa ribuan orang mengungsi.
Banjir dimulai tak lama setelah tengah malam pada Rabu (4/10). Sebuah danau glasial yang terletak tinggi di pegunungan meluap setelah hujan lebat.
Air tersebut menghancurkan bendungan berusia enam tahun yang merupakan bendungan terbesar di Negara Bagian Sikkim, India. Aliran air dari bendungan ini kemudian mengalir melalui kota-kota di Lembah Lachan di bawahnya.
Bencana itu adalah banjir mematikan terbaru yang melanda India timur laut dalam satu tahun dengan hujan monsun sangat lebat. Hampir 50 orang meninggal akibat banjir bandang dan tanah longsor pada Agustus di Negara Bagian Himachal Pradesh. Sedangkan rekor hujan tertinggi pada Juli yang menghilangkan nyawa lebih dari 100 orang di India utara.
Sebuah laporan yang disusun oleh Otoritas Manajemen Bencana Negara Sikkim pada 2019 telah mengidentifikasi Danau Lhonak sebagai sangat rentan terhadap banjir. Kerusakan fasilitas itu dapat menyebabkan kerusakan besar pada kehidupan dan harta benda di daerah hilir. Laporan itu juga memperingatkan risiko banjir bandang yang dapat merobohkan bendungan.
Proyek pembangkit listrik tenaga air Teesta 3 yang dibangun di Sungai Teesta membutuhkan waktu sembilan tahun dan mulai beroperasi pada 2017. Biaya pembangunan fasilitas ini sebesar 1,5 miliar dolar AS. Proyek ini mampu menghasilkan 1.200 megawatt listrik yang cukup untuk memberi daya pada 1,5 juta rumah di India.
Pemerintah federal India bertujuan untuk meningkatkan produksi bendungan pembangkit listrik tenaga air di India hingga setengahnya, menjadi 70 ribu megawatt pada 2030. Padahal ada risiko terhadap bendungan karena meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem.
Desain dan penempatan bendungan Teesta-3 pun kontroversial sejak dibangun. Aktivis lokal berpendapat, bahwa cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim membuat pembangunan bendungan di Himalaya terlalu berbahaya.
Sebuah studi pada 2021 yang dilakukan oleh para peneliti di India, Amerika Serikat, dan Swiss memperingatkan bahwa bendungan tersebut menimbulkan risiko bencana banjir yang semakin besar. Pemanasan iklim menyebabkan gletser yang memberi makan bendungan tersebut mencair lebih cepat.
“Meskipun merupakan proyek terbesar di negara bagian ini, tidak ada sistem peringatan dini yang dipasang meskipun luapan gletser merupakan risiko yang diketahui,” kata Himanshu Thakkar dari organisasi non-pemerintah South Asian Network for Rivers, Dams, and People.
Menurut rilis dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana India pada Jumat (6/10), mereka berencana untuk membangun sistem peringatan dini untuk memberikan peringatan secara real-time di sebagian besar dari 56 danau glasial yang diketahui berisiko di India. Tapi, Thakkar mengatakan, pihak berwenang telah gagal menerapkan pembelajaran dari jebolnya bendungan pada 2021 di Negara Bagian Uttarakhand di Himalaya. Pada peristiwa itu, 81 orang meninggal dunia, sehingga memungkinkan terjadinya bencana yang sangat mirip bisa terjadi pada waktu lain.
Pada 2021, pemerintah federal India mengeluarkan undang-undang keamanan bendungan yang mewajibkan operator dan pemerintah daerah untuk membuat rencana darurat. Namun bendungan Teesta-3 tidak terdaftar sebagai bendungan yang dipantau keamanannya oleh kepala regulator bendungan India Komisi Air Pusat.
Para ahli dan berbagai laporan pemerintah menunjukkan, adanya hujan deras yang tiba-tiba di daerah tersebut. Kondisi itu diperparah dengan gempa berkekuatan 6,2 skala Richter yang melanda Nepal pada Selasa (3/10) sore.
“Kami tahu hal ini akan terjadi,” kata Gyatso Lepcha yang merupakan sekretaris jenderal Warga Terkena Dampak Teesta, sebuah organisasi lingkungan yang berbasis di Sikkim.
“Hal yang sama juga bisa terjadi pada bendungan-bendungan lain,” tulisnya dalam sebuah pernyataan yang menyerukan peninjauan keamanan terhadap semua bendungan di negara bagian tersebut.
Lebih dari 2.000 orang berhasil diselamatkan setelah banjir di wilayah Himalaya itu. Otoritas Manajemen Bencana Negara Bagian Sikkim menyatakan, bahwa otoritas negara bagian mendirikan 26 kamp bantuan untuk lebih dari 22 ribu orang yang terkena dampak banjir. Petugas penyelamat masih mencari hampir 100 orang hilang, termasuk 22 tentara pada Kamis (5/10).