RIAUMANDIRI.CO - Meski Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan fasilitas pendidikan untuk lokasi kampanye Pemilu 2024, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menolak pesantren dijadikan lokasi kampanye.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily sependapat dengan P3M yang menolak pesantren dijadikan tempat kampanye, baik pilpres maupun pileg.
“Pesantren merupakan institusi pendidikan yang harusnya dapat menjaga netralitasnya dalam Pemilu 2024, baik dalam pilpres maupun pileg,” kata Ace Hasan Syadzily, Rabu (27/9/2023).
Sebelumnya, P3M memutuskan menolak lingkungan pesantren dijadikan lokasi kampanye politik jelang pemilihan umum atau Pemilu 2024. Tuntutan ini merupakan hasil pertemuan dalam Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren di Pesantren Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, 22-24 September 2023.
Dalam acara itu, 1.000 pengasuh pondok pesantren (ponpes) menolak kampanye pemilu di lingkungan pesantren sekalipun MK memutuskan bahwa fasilitas lembaga pendidikan boleh digunakan untuk kampanye, termasuk pesantren dengan izin dari penanggung jawab (pengasuh pesantren).
Para pengasuh ponpes berpandangan kegiatan kampanye politik di lingkungan pesantren akan berdampak negatif, khususnya bagi para santri dan alumninya. Ace pun setuju dengan hal tersebut.
“Bahwa pimpinan pesantrennya memiliki hak politik, tentu dapat kita hormati. Tetapi menjadikan Pesantren sebagai institusi pendidikan yang berdiri di atas semua kepentingan politik partisan tetap harus dijaga,” kata Ace.
Menurut Ace, kampanye politik di fasilitas lembaga pendidikan seperti pesantren harus mengedepankan regulasi yang berorientasi pada pendidikan dan edukasi politik yang sehat. Ia juga meminta semua pihak menjaga ketenangan peserta didik dengan tidak melibatkan mereka pada politik partisipan.
“Pesantren selama ini telah menjadi institusi yang berakar pada masyarakat dengan tetap mensyiarkan nilai-nilai keagamaan yang rahmatan lil alamin. Pesantren harus mengedepankan politik kebangsaan, bukan dukung mendukung dan dijadikan sebagai ajang kampanye,” tegas Ace.
Legislator dari Dapil Jawa Barat III tersebut berpandangan, pesantren memang dapat menjadi tempat untuk memfasilitasi diskusi tentang berbagai isu politik dan pilihan pemilih, asal dilakukan dengan cara yang edukatif dan obyektif.
“Walaupun kita tahu bahwa banyak tokoh-tokoh politik bersilaturahmi ke Pesantren, tentu harus diterima dengan tangan terbuka. Tapi institusi Pesantrennya sendiri tetap harus menjaga netralitasnya,” ujarnya.
Ace menambahkan, pesantren tak hanya memiliki tugas sebagai tempat mendidik generasi muda bangsa, tapi juga harus mengemban amanah untuk pelayanan masyarakat.
“Pesantren adalah tempat yang sarat dengan nilai-nilai agama dan spiritualitas, jadi harus ada batasan yang tegas. Pesantren harus diarahkan sebagai pengayom umat dan pelayanan masyarakat, tanpa membeda-bedakan orientasi politiknya ke mana,” sebut Ace.
Untuk itu, regulasi yang ketat mengenai kampanye politik di lingkungan pesantren harus dibuat. Ace menilai, regulasi ketat mengenai kampanye politik di lingkungan pendidikan dapat mencegah potensi perpecahan sekaligus untuk menekankan agar pesantren tetap menjadi tempat yang netral secara politik, di mana berbagai pandangan politik dihormati tanpa diskriminasi.
“Regulasi yang ketat akan membantu mencegah pesantren dari potensi menjadi sarana bagi kelompok politik tertentu yang ingin memecah belah persatuan umat,” ucap Ace.
Pimpinan Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan agama ini sepakat bahwa lingkungan pendidikan juga memerlukan pemahaman mengenai dunia politik. Namun Ace menegaskan, edukasi tersebut bukan berarti dalam bentuk politik praktis seperti kampanye.
“Karena selain bisa berpengaruh terhadap netralitas lingkungan pendidikan, kampanye politik dapat mengganggu ketenangan belajar para santri,” paparnya.
“Jadi penting sekali untuk kita sama-sama menjaga agar kampanye politik di pesantren tidak mengganggu ketenangan santri pesantren dan proses belajar mengajar mereka,” tutup Ace. (*)