Oleh M. Jamiluddin Ritonga*
KIAI dan santri tetap menjadi rebutan saat mendekati hajatan pemilihan presiden (pilpres). Setiap calon presiden (capres) seolah paling peduli terhadap kiai dan santri.
Capres pun intens mengunjungi pesantren. Mereka mengubah penampilan dengan mengenakan sarung, layaknya yang dikenakan kiai dan santri.
Para capres seolah berempati dengan kehidupan pesantren. Mereka pun turut duduk beralaskan tikar atau karpet sederhana.
Mereka juga berziarah ke makam-makam yang dihormati para kiai dan santri. Doa pun dipanjatkan untuk mendapat keberkahan.
Ritual seperti itu tampaknya tidak berubah dari setiap Pilpres. Kiai dan santri sibuk menyambut capres di pesantrennya.
Namun ritual seperti itu sontak berkurang seiring usainya hajatan pilpres. Orang-orang penting pun tak lagi sowan ke pesantren. Tak ada lagi keramaian di pesantren yang mendapat publikasi luas media.
Kiai dan santri kembali hidup normal. Kiai menggembleng santrinya untuk menjadi dai terkemuka dan berintegritas.
Realitas itu tampaknya harus diubah. Pesantren tak boleh lagi hanya menjadi tempat untuk mendulang suara bagi capres.
Untuk itu, pengelola pesantren harus berani memasang jarak dengan para capres. Netralitas harus dikedepankan agar para santri dapat memilih pasangan capres lebih independen.
Kalau hal itu dilakukan, ritual lima tahunan di pesantren tak perlu terjadi. Pesantren akan menjadi lembaga paling dihormati.
Sebab, para capres akan menghormati netralitas dan independensi pesantren, termasuk kiai dan santrinya. (*
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul/Mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta)