RIAUMANDIRI.CO - Dalam Sidang Bersama DPR dan DPD RI, Rabu (16/8/2023), Presiden Joko Widodo mengakui bahwa program hilirisasi nikel dalam jangka pendek belum menguntungkan dan baru akan terasa manisnya dalam jangka panjang.
Jokowi menyebut melalui hilirisasi, pendapatan per kapita RI bisa melesat dalam beberapa tahun ke depan. Berdasarkan perhitungannya dalam 10 tahun ke depan, pendapatan per kapita dapat mencapai Rp153 juta (USD10.900), dalam 15 tahun mencapai Rp217 juta (USD15.800), dan dalam 22 tahun mencapai Rp331 juta (USD25 ribu).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai bahwa pernyataan Presiden itu adalah glorifikasi hilirisasi nikel yang masih harus dibuktikan.
"Saya meragukan besar penerimaan negara dari hilirisasi nikel ini karenanya saya mendesak agar BPK dapat mengaudit secara komprehensif program ini," kata Mulyanto kepada media ini, Sabtu (19/8/2023).
Sebelumnya, Pemerintah mengkontraskan antara pendapatan ekspor bijih nikel tahun 2019 yang sebesar Rp17 triliun dengan pendapatan ekspor program hilirisasi nikel tahun 2022 yang sebesar Rp510 triliun.
Dari data yang disampaikan kementerian terkait, diketahui bahwa penerimaan negara dari perpajakan hilirisasi nikel tahun 2022 hanya sebesar Rp17,96 triliun. Atau sekitar 3,5 persen dari total hasil ekspor yang Rp510 triliun. Sebagian besar sebanyak 96,5 persen lari ke proses produksi, pekerja dan investor asing.
Sementara itu, dari ekspor bijih nikel tahun 2019, diperoleh dana hasil ekspor sebesar Rp15,5 triliun. Dari nilai itu, penerimaan negara dari pajak ekspor saja sebesar Rp1,55 triliun (atau sebesar 10 persen).
Belum lagi penerimaan negara dari PNBP, PPN, PPH badan dan lain-lain. Kemudian juga, sisanya masuk ke investor dan penambang nasional. Tidak lari ke luar negeri atau ke investor asing.
"Artinya secara persentase terlihat penerimaan negara dari program hilirisasi nikel jauh lebih rendah dari ekspor bijih nikel secara langsung," kata Mulyanto.
Belum lagi, kalau penerimaan negara tersebut dihitung berdasarkan rasio terhadap tonase bijih nikel yang dikeruk. Maka akan semakin terlihat, bahwa keuntungan negara dari hilirisasi nikel dengan model seperti sekarang ini masih sangat rendah.
"Penyebabnya karena 90 persen produk yang diekspor adalah barang setengah jadi dengan nilai tambah rendah, yakni NPI dan Feronikel," ungkapnya.
Sementara pemerintah memberikan insentif yang mewah, mulai dari harga bijih nikel untuk smelter yang setengah dari harga internasional, tax holiday PPH badan, bebas pajak ekspor, kemudahan mendatangkan alat-mesin dan TKA.
Karenanya, Mulyanto menilai perlu adanya data yang akurat dan obyektif dari audit BPK. Bukan sekedar klaim sepihak dari Pemerintah, apalagi terkait dengan data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel ini.
"Ini penting agar program hilirisasi ini on the track dan dapat mencapai tujuannya yakni meningkatkannya nilai tambah ekonomi SDA dan kesejahteraan rakyat," seru Mulyanto. (*)