Riaumandiri.co – Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah memberhentikan sebagian besar gubernur di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah itu dipandang sebagai upaya Abbas memenuhi tuntutan perombakan politik di tubuh Otoritas Palestina yang popularitasnya dinilai menurun.
“Presiden Mahmoud Abbas hari ini menerbitkan keputusan presiden yang memensiunkan sejumlah gubernur dari beberapa gubernuran di Tepi Barat dan Jalur Gaza,” demikian bunyi laporan kantor berita Palestina, WAFA, Kamis (10/8).
Di Jalur Gaza, gubernur yang diberhentikan atau dipensiunkan adalah gubernur Gaza Utara, Gaza, Khan Yunis, dan Rafah. Sementara gubernur di Tepi Barat yang diberhentikan adalah gubernur Jenin, Nablus, Qalqilya, Tulkarm, Betlehem, Hebron, Tubas, dan Jericho.
“Presiden Abbas juga mengeluarkan keputusan presiden untuk membentuk sebuah komite yang ditugaskan untuk memilih calon gubernur yang lowong dan merekomendasikan mereka kepada Presiden untuk keputusan akhir,” kata WAFA.
Meskipun para gubernur Palestina telah mengharapkan perombakan selama bertahun-tahun karena tuntutan perubahan yang meningkat, tapi banyak di antara mereka terkejut dengan keputusan Abbas. Kendati demikian, tak ada yang menolak atau menentang keputusan tersebut.
“Saya bisa mengerti betapa pentingnya darah segar. Ini adalah keputusan presiden, dan bahkan jika kami tidak memahami semua alasannya, kami akan mematuhinya,” ujar Jihad Abu al-Assad, gubernur Jericho dan Lembah Yordan.
Analis politik Jehad Harb menilai, keputusan Abbas memberhentikan sejumlah gubernur di Tepi Barat dan Jalur Gaza merupakan pengakuan atas merosotnya kepopuleran Otoritas Palestina. Langkah Abbas pun menunjukkan bahwa dia mengindahkan seruan untuk perombakan.
Harb mengatakan, diberhentikannya sejumlah gubernur Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza secara otomatis akan memberikan Otoritas Palestina wajah baru. “Namun itu tidak akan mengubah apa pun. (Abbas) sedang mencoba membangun kembali kepercayaan publik, tapi itu akan membutuhkan lebih banyak lagi,” ucapnya.
Warga Palestina tak memiliki kesempatan memberikan suara dalam pemilu nasional sejak 2006. Masa jabatan Abbas sebagai presiden, secara teknis seharusnya telah berakhir pada 2009. Selain pendudukan Israel, perselisihan di internal Palestina menjadi hambatan penyelenggaraan pemilu.