RIAUMANDIRI.CO - Badan Keahlian (BK) DPR berkomitmen penuh dengan mendukung pencegahan tindak pidana perdagangan orang melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
Tidak hanya fokus pada aspek represif, BK DPR juga mendorong Pemerintah Indonesia perlu memperkuat aspek preventif mengingat kasus TPPO di Indonesia bersifat kompleks.
"Negara kita ini di urutan kedua (kasus TPPO). Ini menjadi respon BK DPR dalam merumuskan rekomendasi ataupun pemikiran secara dua arah. Terutama dalam pencegahan yang dilakukan yang langsung mengarah kepada fungsi pengawasan DPR," kata Kepala BK DPR Inosentius Samsul.
Hal tersebut disampaikannya ketila membuka Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Seputar Permasalahan Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Dari Tindak Pidana Perdangangan Orang’ di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Dirinya meyakini bahwa dengan menguatkan aspek preventif terkait soal TPPO akan menguraikan kompleksitas penyelesaian perdagangan manusia di Indonesia. Di mana, salah satu sumber penyebab tingginya kasus TPPO adalah tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
"Ini serious crime. Saya katakan persoalan perdagangan orang ini kan persoalan yang kompleks. Kita harus selesaikan masalahnya di hulu dulu, baru bisa (selesai) di hilir," tegasnya.
Menutup pernyataannya, Sensi menekankan BK DPR menggelar diskusi publik guna mengevaluasi kebijakan Pemerintah Indonesia dalam implementasi UU TPPO.
"Pada ujungnya tindak pidana ini perlu diwaspadai secara sungguh-sungguh mengingat dampaknya mengenai kelompok rentan yang justru harus dilindungi oleh negara," tutup Sensi.
Sebagai informasi, agenda ini menjadi krusial untuk dibahas lantaran berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan sepanjang 2017-2022.
Di sisi lain dari seluruh korban TPPO yang terlaporkan diketahui persentase terbesar terjadi pada anak-anak 50,97 persen, lalu diikuti oleh perempuan sebesar 46,14 persen dan laki-laki sebesar 2,89 persen. (*)