RIAUMANDIRI.CO - Anggota Timwas Haji DPR Yandri Susanto meminta Pemerintah memasukkan poin-poin hukuman (denda) dalam kontrak kerja dengan penyedia layanan haji (masyarik) untuk pelayanan haji ke depannya.
Dia meminta masyarik yang tidak menyediakan layanan (lalai) sesuai kesepakatan harus mengembalikan pembayaran.
"Uang yang dikembalikan dari masyariq, itu nanti dikembalikan lagi ke jemaah haji," ujar Legislator Dapil Banten II itu, di Mekkah, dikutip dari laman resmi DPR RI, Sabtu (1/7/2023).
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sebagian jemaah haji Indonesia memang tak terurus dengan baik selama menjalani ibadah di Tanah Suci Mekkah, khususnya saat di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Mereka sempat telantar karena bus lambat menjemput, terpaksa tidur di luar tenda sebab jemaah overload, hingga enggan ke toilet yang antreannya semrawut.
"Pengelola ibadah haji semenjak di Arafah hingga Mina adalah penyedia layanan haji, atau disebut masyarik, yang diajukan Pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Indonesia mengikat kontrak dengan para masyarik ini, karena memang peraturan di Saudi hanya mereka yang diberi wewenang mengurus pelayanan haji," jelas Yandri.
Wakil Ketua MPR dari fraksi PAN ini menilai kinerja masyarik dari Arab Saudi terbilang mengecewakan. Jemaah Indonesia mengalami berbagai masalah yang menguji kesabaran selama beribadah di Armuzna.
Jemaah telantar dari subuh hingga siang hari tanpa bekal makanan dan minuman di Muzdalifah, lalu tak kebagian tempat tidur karena penuhnya tenda di Mina, ada pula masalah toilet mampet dan tak keluar air hingga mengakibatkan sebagian jemaah enggan berurusan dengan Mandi Cuci Kakus (MCK).
Tim Pengawas Pelaksanaan (Timwas) Haji DPR mendorong Pemerintah Indonesia memprotes keras terkait kinerja masyarik ini. Protes keras bisa dilayangkan ke Pemerintah Saudi yang menyodorkan mereka ke Pemerintah Indonesia.
"Pemerintah Indonesia harus menyampaikan protes keras kepada Pemerintah Arab Saudi atas layanan yang bermasalah ini. Karena Pemerintah Arab Saudi yang menawarkan masyarik ini kepada Kementerian Agama," tandasnya.
Sementara itu, perjanjian secara hukum antara Kementerian Agama dengan pengelola masyair (ongkos haji, red) itu juga harus lebih detail dan juga berada dalam kerangka sifatnya dokumen yang ada legal draftingnya.
"Jadi ada landasan legalnya, landasan hukumnya, sehingga apabila terjadi hal-hal seperti ini kita bisa menuntut pengembalian uang," pungkasnya.
Buruknya pelayanan jemaah haji di Indonesia dari tahun ke tahun selalu terulang. Ada saja oleh-oleh kisah pilu tak menyenangkan yang dibawa pulang jemaah ke Tanah Air.
Negara diharapkan mampu secara serius mengubah alur cerita jemaah haji Indonesia menjadi berujung bahagia. Dengan mengedepankan pelayanan yang lebih baik. (*)