RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menagih janji Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif terkait pembatasan pembangunan smelter nikel kelas dua.
Smelter kelas dua adalah fasilitas pemurnian dan pengolahan nikel menjadi bahan baku setengah jadi Nickel Pig Iron (NPI) dan Fero Nikel (FeNi).
Salah satu cara pembatasan itu melalui instrumen penerapan bea keluar (pajak ekspor) produk ini. Pasalnya, kandungan nikel kedua produk tersebut hanya sekitar 4-8 persen. Sehingga nilai tambahnya rendah ketika diekspor.
Mulyanto mengatakan pembatasan ini perlu. Sebab kalau tidak dibatasi, cepat atau lambat akan menguras cadangan bijih nikel, karena saprolit nikel (kadar di atas 1.5 persen nikel) semakin menipis. Sementara produknya hanya barang setengah jadi dengan kandungan nikel rendah.
"Ini kan seperti hilirisasi setengah hati. Kita menginginkan program hilirisasi yang menuju industrialisasi, dimana produk smelter adalah nikel matte dengan kandungan nikel lebih dari 70 persen; nikel sulfat untuk bahan baterai listrik; dan stainless steel, yang diorientasikan sebagai bahan baku industri domestik," kata Mulyanto kepada media ini, Jumat (9/6/2023).
Kalau ini yang dikembangkan maka nilai tambah dan multiflier efeknya secara domestik akan semakin tinggi dan semakin mensejahterakan rakyat. Wacana ini sudah dilontarkan Menteri ESDM namun sayang tindak-lanjutnya masih belum jelas. Sampai hari ini ekspor NPI dan fero nikel masih bebas.
Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Kementerian KESDM, Dirjen Ilmate Kemenperin dan para pengusaha smelter, Kamis (8/6/2023), di Kompleks Parlemen, diketahui bahwa jumlah smelter kelas dua sampai hari ini sebanyak 57 buah. Dimana 34 unit sudah beroperasi; 17 unit dalam proses konstruksi dan 6 unit masih dalam tahap studi kelayakan.
Sementara smelter kelas satu hanya ada 4 buah. Tiga sudah operasi dan satu masih dalam tahap studi kelayakan. (*)