RIAUMANDIRI.CO - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, perlunya menyusun satu perspektif baru dalam sistem pendidikan saat ini untuk menjadikan Indonesia sebagai superpower baru.
"Kalau kita mau menjadi negara superpower mesti ada drive sumber nasionalisme baru bagi Indonesia. Kita harus membuat satu penyesuaian tentang sistem pendidikan yang bisa menjadi fondasi ke arah itu," kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk Mutiara Bangsa di Mancanegara: Menuju Indonesia Mendunia, Rabu (7/6/2023) sore.
Menurut Anis, penyesuaian terhadap sistem pendidikan itu, harus dilakukan melalui perubahan total atau revolusi sistem pendidikan di Indonesia, termasuk mencakup penyelesaian masalah kesehatan dalam jangka panjang seperti stunting.
"Ada sepertiga dari populasi kita yang lahir stunting, ini akan membuat negara dan masyarakat terus terbebani karena akan menjadi generasi yang tidak produktif. Sehingga kita bayangkan betapa tidak seimbangnya masyarakat kita," katanya.
Karena itu, kata Anis Matta, persoalan stunting ini harus segera diatasi agar menghasilkan generasi produktif, selain memberikan akses yang luas terhadap proses pembelajaran masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.
"Memberikan akses tidak terbatas kepada masyarakat terhadap ilmu pengetahuan itu, maksudnya bukan memberikan akses informasi lewat internet, tapi kita perlu menjadikan sekolah sebagai sumber pembelajaran, bukan bimbel (bimbangan belajat). Artinya, negara perlu memberikan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi," katanya.
Sebab, berdasarkan Databooks 2022, Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Asia Tenggara pada 2020, pendidikan orang Indonesia berumur 19-23 yang aktif di perguruan tinggi hanya mencapai 36,31 persen.
"Bandingkan dengan Singapura orang yang berumur 19-23 tahun 90 %-nya itu mengambil pendidikan tinggi. Di Indonesia orang yang berumur 19-23 hanya 36,31 persen. Ini yang mestinya kita kejar menjadi misalnya, 100% atau paling tidak 90 %," ujarnya.
Saat ini, tidak hanya kalah jauh dari Singapura, kata Anis Matta, orang Indonesia yang berumur 19-23 mengambil pendidikan tinggi juga kalah dari Malaysia (43 %) dan Thailand (49,29 %). Indonesia yang menempati posisi keempat hanya unggul tipis dari Filipina (35,52%) dan Brunei Darusssalam (32 %).
"Ini menjadi tantangan besar buat kita untuk menjadikan sebuah fondasi dari sebuah bangsa, karena kita selalu menghadapi kontradiksi dalam mekanisme demokrasi pasar setiap 5 tahun, yang selalui ada evaluasi dan performance-nya dalam sistem pendidikan, tidak ada keberlanjutan, sehingga kita sulit menemukan pemimpin yang baik, pemimpin yang visioner," katanya.
Orientasi pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia saat ini, lanjut Anis Matta, sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang geopolitik pasca perang dingin antara kutub barat dan timur.
"Di blok barat , Amerika dan Inggris menjadikan dua negara utama ini sebagai pusat pendidikan dunia seperti membangun kembali Jepang, Korea Jerman melalui pendidikan, industri dan bisnis militernya. Sedangkan blok timur menjadikan Uni Soviet sebagai pusat pendidikan, sehingga banyak orang yang dikirimkan ke Rusia untuk menempuh pendidikan," ujarnya.
Dua blok ini, kemudian melakukan transfer teknologi kepada para sekutu utamanya, sehingga negara-negara tersebut menjadi negara maju. "Artinya kebijakan geopolitik saat itu berkorelasi dengan transfer pendidikan dan teknologi, serta kemajuan suatu negara," ungkapnya.
Namun, seiring dengan perubahan geopolitik saat ini, diperlukan satu pola baru dalam transfer teknologi dalam sistem pendidikan, karena sistem pendidikan adalah tulang punggung dari satu negara yang ingin maju.
"Kenapa China bisa maju seperti sekarang, karena berani melawan kebijakan geopolitik itu. China mengalami orientasi geopolitiknya, dia split dari Uni Soviet dia masuk ke Amerika, sehingga mulai ada kebijakan baru. Artinya sekarang bagi kita di Indonesia, kalau ingin menjadi negara maju, maka tahapannya adalah menjadikan sistem pendidikan itu sebagai backbone atau tulang punggung yang menyangga kemajuan kita sebagai bangsa, kalau kita ingin menjadi super power," tegasnya. (*)