RIAUMANDIRI.CO - Ketua DPR RI Puan Maharani mendorong pemerintah segera menerbitkan aturan pelaksana sebagai implementasi atas Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sejak disahkan setahun lalu, penerapan hukuman terhadap pelaku serta perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih terhambat karena belum ada aturan teknisnya.
“Pemerintah harus memberi dukungan untuk memastikan penghapusan kekerasan seksual, yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak. Aturan pelaksana sebagai implementasi atas penerapan UU TPKS harus segera diterbitkan,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/5/2023).
Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
Puan mengingatkan penting sekali aturan turunan UU TPKS segera dibuat mengingat banyaknya korban kekerasan seksual. Terbaru, ditemukan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren.
Sedikitnya 41 orang santri menjadi korban pencabulan di pondok pesantren di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di mana pelaku pencabulan merupakan pimpinan pondok pesantren.
Menurut Puan, permasalahan kekerasan seksual seperti itu seharusnya sudah bisa diterapkan dengan UU TPKS apabila sudah ada aturan teknisnya.
“Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. Jangan sampai perjuangan kami di DPR, perjuangan para aktivis dan seluruh elemen bangsa lainnya sampai akhirnya UU TPKS terealisasi menjadi sia-sia,” ujar Puan.
Sedianya, ada 5 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden yang akan dibuat sebagai amanat dari UU TPKS. Namun Pemerintah menyepakati penyederhanaan pembentukan aturan turunan menjadi 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden.
DPR pun menyoroti perlunya aturan pendukung untuk penanganan korban kekerasan dari sisi psikologis yang dapat diberikan Pemerintah. Puan meminta komitmen Pemerintah dalam mempercepat penerbitan aturan teknis demi efektivitas UU TPKS.
“Apalagi kondisi psikologis korban yang terguncang seringkali membuat mereka tidak sanggup untuk melapor. Penegak hukum beserta lembaga terkait juga menjadi terhambat dalam menangani kasus karena belum ada pedoman rigidnya,” ucap perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Lebih lanjut, Puan mendorong masyarakat untuk memberi bantuan kepada korban yang mengalami kekerasan seksual. Menurutnya, peran lingkungan sekitar menjadi garda terdepan dalam perlindungan terhadap korban.
“Diperlukan gotong royong seluruh stakeholder dalam mengatasi masalah kekerasan seksual di mana biasanya korban enggan melapor karena takut dihakimi,” tuturnya.
Upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual pun, disebut Puan, dimulai dari tahapan pencegahan. Proses tersebut harus diawali dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Sosialisasi UU TPKS sangat penting karena sosialisasi itu merupakan bagian dari edukasi kepada masyarakat. Bila terjadi tindak kekerasan, masyarakat yang sudah memahami bisa melaporkan kepada penegak hukum,” ucap Puan.
Mantan Menko PMK ini juga menyinggung kurangnya infrastruktur rumah aman bagi untuk korban kekerasan seksual maupun saksi. Sebab, kata Puan, belum semua kota di Indonesia memiliki lembaga pendamping korban kekerasan seksual.
“Sejalan dengan penerapan UU TPKS, pemerintah juga harus menyiapkan rumah aman yang lokasinya dirahasiakan guna melindungi korban kekerasan seksual baik fisik ataupun psikis mereka,” terangnya.
Puan melanjutkan, rumah aman bisa dikoordinasikan secara lintas instansi, termasuk pihak kepolisian. Nantinya, instansi-instansi terkait dapat mendampingi dan memberikan perlindungan kepada para korban sesuai kewenangannya masing-masing.
“Rumah aman ini sangat penting karena korban kekerasan seksual dan KDRT, posisinya rawan atau berisiko mendapat tekanan. Antisipasi jika terjadinya intimidasi, terutama dari pelaku,” tegas Puan.
Puan menekankan, efek jera baru akan didapat apabila pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman yang setimpal.
“Jalan damai bukan satu-satunya menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Harus ada hukuman agar menimbulkan efek jera bagi pelaku. Karena sekali perempuan menjadi objek kekerasan seksual, tidak menutupi akan ada kejadian serupa lagi,” tegas Puan.
Dengan adanya penerapan pelaksana UU TPKS, kasus kekerasan seksual di mana korbannya banyak datang dari kelompok perempuan dan anak diharapkan dapat berkurang.
“Penerapan implementasi UU TPKS di lapangan tentu dinanti banyak pihak. Bersama kita jaga agar tidak ada lagi kasus kekerasan seksual di lingkungan kita,” tutup Puan. (*)