RIAUMANDIRI.CO - Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, posisi wakil presiden dalam sistem presidensial memang menjadi rebutan karena memiliki peran strategis dalam pemerintahan.
"Di Pemilu 2024 ini, rebutannya memang luar biasa, meski fungsinya biasa-biasa saja. Tetapi posisi wakil presiden itu, strategis secara pemerintahan," kata Hanta Yuda dalam Gelora Talk 'Meneropong Pengaruh Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024, Rabu (17/5/2023) sore.
Dalam sistem presidensil, kata Hanta, baik presiden maupun wakil presiden merupakan institusi tunggal dengan nama lembaganya, Lembaga Kepresiden.
"Tetapi dalam fungsi sistem ketetanegaraan, wakil presiden itu ban serep sebagai pengganti presiden ketika presiden berhalangan dalam kondisi tertentu. Namanya, ban serep seperti kendaraan saja, akan difungsikan kalau ban kita bermasalah, baru ban itu diganti untuk menjalankan fungsi presiden," katanya.
Fungsi selanjutnya, adalah mewakili presiden dan menjalankan tugas kepresidenan, serta membantu tugas presiden yang didelegasikan dalam beberapa bidang atau tugas.
"Kita bisa ambil contoh peran tugas wakil presiden di masa Presiden Soekarno yang merupakan Dwi Tunggal dengan Bung Hatta. Atau wakil Presiden dimasa Pak Harto (Soeharto), Gus Dus (KH Abdurrahman Wahid), Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Jokowi (Jokowi). Semua ada perbedaannya," ujar Hanta.
Dalam situasi saat ini, lanjutnya, akan dicari wapres yang akan saling melengkapi, sepertii memiliki pengalaman politik dan leadership, atau seorang teknokrat, serta menentukan dalam elektoral dan elektabilitas.
"Tapi sehebat apapun komposisinya, kalau tidak memenangkan elektoral tidak ada gunanya. Sebab, Pilpres sekarang tidak ada incumbent, semua elektablitas capresnya marginnya sangat tipis, tidak ada yang menyakinkan diatas 60 persen," katanya.
Kondisi tersebut, tentu saja membuka peluang adanya calon wapres yang dibutuhkan, bukan calon wapres yang diinginkan, karena basisnya pada periode pertama ini adalah elektabilitas dan logistik.
"Jamannya Pak SBY dan Pak Jokowi bisa menjadi contoh, yang menjadikan pak JK (Jusuf Kalla) sebagai cawapresnya di periode pertama, itu cawapres yang dibutuhkan. Tetapi kalau cawapres yang diinginkan, bisa dilihat di periode kedua, ada Pak Boediono di jamannya Pak SBY dan KH Ma'ruf Amin di masa Pak Jokowi," katanya.
Karena itu, pada saat ini para king maker atau ketua umum partai politik sangat menentukan dalam penentuan calon wakil presiden, sementara capresnya sendiri tidak bisa menentukan, karena tidak memiliki tiket pilpres.
"Di periode pertama ini, cawapres yang dibutuhkan lebih penting daripada yang diinginkan. Cawapres juga harus memiliki aceptabilitas yang tinggi kepada ketua umum partai. Kalau tingkat kesukaan Ibu Mega rendah, jangan mimpi bisa jadi cawapresnya PDIP. Faktor tingkat kesukaan king maker ini, sangat menentukan dibandingkan kesukaan capres terhadap cawapresnya," katanya.
Politisi PDIP Budiman Sujatmiko mengatakan, sejak awal fungsi wakil presiden selalu direpresentasikan dengan kultur, tidak sekedar representasi kedaerahan saja, karena Indonesia sangat beragram.
"Jadi tidak boleh kecocokan itu dipertaruhkan, semangatnya harus representasi, ya seperti Bung Karno dengan Bung Hatta. Itu representasi," kata Budiman.
Sehingga cawapres PDIP nantinya, tidak pernah menggunakan ukuran elektoral atau logistik, tetapi selalu merepresentasikan ke daerahan dan kultur politik aliran.
"Seperti Pak Hamzah Haz, Pak Hasyim Muzadi dan KH Ma'ruf Amin itu, tidak berbicara soal logistik, tetapi berbicara prevensi politik Islam, representasi aliran politik. Jadi kalau capresnya PDIP, wakilnya pasti santri. Kalau Pak Hasyim atau Kiayai Ma'ruf Amin punya elektoral, tapi itu bukan jadi ukuran, itu konsekuensi politik saja," katanya.
Budiman memastikan cawapres PDIP akan berasal dari santri, dari kalangan nahdlyin (NU). Namun, ia belum mau membocorkan siapa cawapres dari nahdliyin yang akhirnya dipilih.
"Meskipun PDIP memiliki golden tiket, bisa saja kadernya dari PDIP. Tetapi karena Pilpres bukan sekedar masalah administrasi saja atau rutinitas demokrasi, tetapi juga merupakan kehadiran bersama. Maka kita mengakomodasi fungsi-fungsi aliran kultur politik, tidak sekedar kedaerahan, elektoral atau logistik saja," tegasnya.
.
Sedangkan Ketua Bappilu Partai NasDem Effendi Choirie (Gus Choi) mengatakan, Anies Baswedan yang merepresentasikan masyarakat Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim).
"Kita cari figur yang merepresentasikan rakyat Jateng dan Jatim, baik secara sosio kultural dan sosio politik dan lainnya," kata Gus Choi.
Ia mengatakan koalisinya sudah mengkalkulasi kelemahan dan kelebihan yang dimiliki Anies. Meski demikian, Gus Choi enggan membeberkan nama-nama yang masuk kriteria cawapres Anies tersebut
Gus Choi mengakui Anies masih lemah di kawasan Jateng dan Jatim. Karenanya, ia mengatakan figur cawapres Anies nantinya akan merepresentasikan kawasan tersebut. "Sehingga makin lebih dekat kemungkinan keterpilihannya," kata dia.
Gus Choi mengatakan proses pemilihan cawapres mempertimbangkan representasi yang beragam di Indonesia. Baginya, aspek representasi ini masuk psikologis warga Indonesia ketika memasuki perhelatan pemilu.
Ia mencontohkan Presiden Joko Widodo memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapres pada Pilpres 2019 lalu lantaran representasi dari kalangan kultural keagamaan.
"Lalu ada bagaimana kemudian menang. Semisal kalau presiden enggak punya duit cari wapres yang punya duit," kata Gus Choi berkelakar. (*)