RIAUMANDIRI.CO - Mahkamah Agung (MA) menyatakan Andi Putra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap terkait pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) kebun sawit. Namun, MA menjatuhkan vonis lebih ringan terhadap Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) nonaktif itu dibandingkan dua lembaga peradilan di bawahnya.
Itu diketahui dari laman resmi Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Di sana tercantum bahwa majelis hakim MA yang diketuai Desayeti telah menjatuhkan vonis pada sidang putusan yang digelar Pada 30 Maret 2023 lalu.
Dalam putusannya, MA memperbaiki putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi (PT) Riau yang menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada PN Pekanbaru. Dimana dua lembaga peradilan itu menjatuhkan vonis penjara selama 5 tahun dan 7 bulan terhadap Andi Putra.
Selain itu, dia juga dihukum membayar denda sebesar sebesar Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Sementara putusan MA, Andi Putra dihukum lebih ringan. "Pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," begitu bunyi petikan putusan kasasi tersebut dikutip, Kamis (27/4/2023).
Kembali pada vonis di tingkat pertama dan banding, hakim dalam putusannya menyampaikan pertimbangannya tak sependapat soal uang Rp500 juta yang diterima Andi Putra dan sempat diakui sebagai pinjaman. Hakim menyatakan uang adalah hadiah atau janji dari PT AA yang diberikan kepada Andi Putra dengan maksud agar dia memberikan rekomendasi persetujuan kebun plasma.
Hakim menyatakan, juga tidak sependapat dengan ahli yang dihadirkan pihak terdakwa. Hakim juga menolak pembelaan dari penasihat hukum terdakwa.
Terhadap Andi Putra, majelis hakim tak membebankan keharusan membayar kerugian keuangan negara. Hakim menilai, perbuatan Andi tak menyebabkan kerugian keuangan negara.
Hakim juga tak menjatuhkan hukuman pidana tambahan, berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, sebagaimana tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya, Andi Putra dituntut hukuman 8,5 tahun kurungan penjara oleh JPU KPK. Tuntutan dibacakan dalam sidang lanjutan yang digelar pada Kamis (7/7/2022) lalu.
JPU KPK berpendapat, Andi Putra terbukti menerima uang sebesar Rp500 juta dari PT AA untuk kepentingan pengurusan perpanjangan HGU kebun sawit.
Menurut JPU, pihaknya telah membuktikan bahwa terdakwa Andi Putra telah memenuhi unsur pasal yang didakwakan. Yaitu melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf A Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Hal itu sebagaimana dakwaan alternatif kesatu.
Tak hanya itu, JPU KPK juga menuntut terdakwa agar membayar denda Rp400 juta, dengan subsidair atau kurungan pengganti 6 bulan. Kemudian, Andi Putra juga dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp500 juta. Jika harta benda tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana pengganti kurungan penjara 1 tahun.
JPU KPK turut meminta hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana.
Dugaan suap dari PT AA lewat General Managernya, Sudarso kepada Bupati Kuansing nonaktif, Andi Putra terjadi sekitar medio September-Oktober 2021 lalu. Berawal ketika itu, izin HGU kebun sawit PT AA akan berakhir tahun 2024 mendatang.
Ada tiga sertifikat PT AA yang akan berakhir. Tiga sertifikat itu berada di Desa Sukamaju Kecamatan Singingi Hilir.
Frank Wijaya selaku Komisaris PT AA sekaligus pemilik (beneficial owner) meminta Sudarso untuk mengurus perpanjangannya. Atas permintaan tersebut, kemudian Sudarso memulai proses pengurusan perpanjangan Sertifikat HGU PT AA.
Sudarso yang sudah lama mengenal Andi Putra sejak masih menjadi anggota DPRD Kabupaten Kuantan Singingi, lalu melakukan pendekatan. Dari pertemuan antara terdakwa dengan Andi Putra, disepakati Bupati Kuansing itu akan menerbitkan surat rekomendasi persetujuan.
Namun syaratnya, PT AA diminta memberikan uang kepada Andi Putra. Atas laporan Sudarso tersebut, Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang kepada Andi Putra agar surat rekomendasi dapat segera keluar.
Masih dalam bulan September 2021, Andi Putra meminta uang kepada Sudarso sebesar Rp1,5 miliar, dalam rangka pengurusan surat rekomendasi persetujuan tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/plasma di Kabupaten Kampar. Atas permintaan Andi itu, Sudarso melaporkan kepada Frank Wijaya.
Kemudian Frank Wijaya menyetujui dan menyepakati untuk memberikan uang secara bertahap. Saat itu Frank menyetujui untuk memberikan uang sebesar Rp500 juta.
Selanjutnya, pada tanggal 27 September 2021 Sudarso meminta Syahlevi Andra membawa uang Rp500 juta yang telah disiapkan ke rumahnya di Jalan Kartama Gang Nurmalis No 2 RT.002 RW 021 Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru. Sudarso melalui Syahlevi memberikan uang tersebut kepada Andi Putra melalui supirnya Deli Iswanto.
Lalu, pada tanggal 18 Oktober 2021, Sudarso meminta Syahlevi selaku kepala kantor PT Adimulia Agrolestari untuk mencairkan uang sebesar Rp250 juta sebagaimana permintaan Andi Putra. Ketika itu, Andi Putra meminta Sudarso mengantarkan uang itu ke rumahnya di Jalan Sisingamangaraja Nomor 9 Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi.
Sudarso bersama Paino dan Yuda Andika berangkat menuju ke rumah Andi Putra, dengan menggunakan mobil Toyota Hilux warna putih dengan Nopol BK 8900 AAL. Namun setelah pertemuan dengan Andi Putra itu, Sudarso ditangkap oleh tim KPK.
Karena Sudarso diamankan oleh tim KPK, selanjutnya Frank Wijaya memerintahkan Syahlevi untuk menyetorkan kembali uang untuk Andi Putra sebesar Rp250 juta itu, ke rekening PT AA.
Selain Andi Putra, KPK juga menjerat sejumlah pihak lainnya. Yakni, Sudarso dan Frank Wijaya.