Beberapa pekan terakhir kita dikagetkan berbagai kasus menyangkut makanan yang beredar di sekitar kita. Pemberitaan kasus itu memberi peringatan agar kita lebih hati-hati terhadap bahaya makanan, khususnya dampak kepada generasi muda.
Mengapa masalah ma-kanan ini menjadi persoalan yang kerap kali kita abaikan padahal akibatnya bisa berdampak fatal terhadap keselamatan jiwa dan pertumbuhan generasi muda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, lebih dari 2 juta kasus kematian terjadi setiap tahun akibat konsumsi makanan atau minuman yang tidak memberikan rasa aman. Salah satunya yang telah terkontaminasi logam berat atau racun. Masalah keamanan pangan lokal secara cepat menjadi kasus darurat internasional.
Kategori makanan yang dimaksud tak aman adalah yang mengandung bakteri, virus, dan parasit. Bahan kimia berbahaya lain, a-ntara lain, dari bahan hewani yang belum sepenuhnya matang, buah-buahan, dan sayuran yang mengandung kotoran, atau makanan laut yang mengandung racun. Akibatnya, makanan tak aman bisa menyebabkan 200 penyakit, mulai dari kategori diare hingga masalah kesehatan jangka panjang seperti kanker, ginjal, dan gangguan syaraf.
Regulasi
Menilik besarnya dampak negatif akibat bahaya makanan ini terhadap konsumen, sudah waktunya bagi pemerintah memperketat pengawasan makanan yang beredar. Sebenarnya, berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk mengatur dan atau menertibkan makanan yang beredar. Namun, yang menjadi titik lemah pada tingkat operasionalisasi, yaitu implementasi peraturan.
Beredarnya makanan berbahaya dan beracun dapat dipastikan akibat empat hal: pengawasan yang lemah, penegakan hukum (sanksi), kesadaran masyarakat masih rendah, dan kemampuan daya beli masyarakat (ekonomi). Terkait pengawasan, peran penegak hukum sangat penting. Setidaknya, hukuman bagi mereka yang terbukti memproduksi atau mengedarkan makanan berbahaya haruslah sanksinya tegas untuk memberikan efek jera.
Berbagai regulasi yang dianggap penting telah disahkan untuk memberi legitimasi hukum dan moral bagi konsumen yang mengonsumsi barang dan atau jasa. Seperti UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 butir b menegaskan, "Bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif terhadap berbagai barang dan atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen."
UU Pangan No 8 Tahun 2012 menyebutkan di Pasal 1 ayat (5), "Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi."
Selanjutnya, Pasal 69 (g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan." Demikian juga Pasal 101 ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya."
Inilah asas sukarela halal: yang menyatakan halal wajib mengajukan sertifi-kasi halal. Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the Term "Halal" Codex Alimentarius Commision (CAC/GL 24-1997) bahwa penggunaan label halal merupakan klaim dan bila produsen klaim produknya halal harus memenuhi ketentuan sesuai hukum Islam.
Bahkan secara eksplisit dalam UU Jaminan Produk Halal di Pasal 26 (1) disebutkan, "Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal." Bunyi Pasal ini tentu harus diinterpretasikan bahwa haram itu termasuk makanan yang merusak organ tubuh tidak boleh diperdagangkan di wilayah Indonesia.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap makanan yang beredar di sekitar kita demi menjauhkan dan menjaga generasi untuk tidak terkontaminasi berbagai makanan yang dijajakan atau yang dijual di kawasan sekolah, seperti makanan atau minuman yang mengandung zat pewarna.
Atas dasar itulah, semua regulasi yang terkait seharusnya ditegakkan secara konsisten dan konsekuen. Yang terpenting pula, dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi.
Memang, tantangan terbesar ke depan adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana dan prasarana serta penegakan hukum yang bermartabat, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Sebab, jaminan bahan makanan yang layak konsumsi (halal) bagi seluruh penduduk di Tanah Air adalah bagian dari keamanan pangan rohani.
Pada pembukaan UUD 1945, disebutkan, "UUD 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu." Substansinya, tentu memberi jaminan kemerdekaan memeluk agama masing-masing, termasuk penyediaan pangan sesuai agama dan kepercayaannya.
Sekali lagi, para elite bangsa khususnya penyelenggara pemerintahan perlu diingatkan agar tidak membiarkan rakyat dan generasi muda berada dalam ancaman bahaya makanan. Membersihkan makanan yang berbahaya adalah bagian good governance. Karena menyiapkan makanan yang sehat dan bersih adalah hak konstitusional rakyat yang tak bisa ditawar-tawar. (rol)
Oleh: Abustan(Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen).