RIAUMANDIRI.CO - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan ini tidak termasuk kedalam kategori gelombang panas.
"Secara karakteristik, suhu panas yang terjadi akibat adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya," jelas Dwikorita dalam keterangan tertulisnya dikutip dari laman resmi BMKG, Senin (25/4/2023).
Dijelaskan, secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2°C melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari pada tanggal 17 April 2023.
"Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum
teramati berada dalam kisaran 34 hingga 36°C di beberapa lokasi. Variasi suhu maksimum 34°C-36°C untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya," jelasnya.
Secara klimatologis, jelasnya lagi, dalam hal untuk Jakarta, bulan April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November.
Belakangan di berbagai media, informasi kondisi suhu udara yang panas juga dikaitkan dengan fluktuasi radiasi ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Besar kecilnya radiasi UV yang mencapai permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV.
Indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori: 0-2 (Low), 3-5 (Moderate), 6-7 (High), 8-10 (Very high), dan 11 ke atas (Extreme). Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori Low di pagi hari; mencapai puncaknya di kategori High, Very high, sampai dengan Extreme ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12:00 s.d.
15:00 waktu setempat; dan bergerak turun kembali ke kategori “Low” di sore hari.
Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan. Tinggi rendahnya indeks UV tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah," jelasnya.
Disebutkan, untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian secara rutin dapat teramati dari hari ke hari meskipun tidak ada fenomena gelombang panas. Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat
memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV.
"Untuk lokasi dengan kondisi umum cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai dengan siang hari dapat berpotensi
menyebabkan indeks UV pada kategori very high dan extreme di siang hari," terangnya.
Dia mengimbau masyarakat tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian tersebut, serta mengikuti dan melaksanakan iimbauan respon bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masing-
masing kategori index UV, seperti menggunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktifitas di luar ruangan. (*)