RIAUMANDIRI.CO - Komisi II DPR RI memandang ketimpangan dan ketidakadilan atas penguasaan tanah di Indonesia sudah sangat akut, dan inilah sebagai penyebab akar konflik agraria.
"Konflik agraria adalah buah ketidakadilan struktural, tetapi masih dianggap sebagai konflik horizontal. Tanah rakyat dirampas demi segelintir elit oligarki yang tidak pernah puas," tegas Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal.
Hal itu ditegaskan Syamsurizal ketika memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI dalam melakukan pengawasan tentang pertanahan khususnya terkait dengan HGU, HGB dan HPL di Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Selasa, pekan lalu.
Menurut catatan Syamsurizal, sekitar 68 persen tanah di Indonesia dikuasai satu persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Sementara lebih dari 16 juta petani bergantung hidupnya dari rata-rata lahan hanya di bawah setengah hektar saja.
"Potensi kerugian negara dari pengelolaan HGU melebihi batas izin mencapai Rp380 triliun," ungkap Syamsurizal.
Politisi PPP ini juga menyebutkan dalam lima tahun terakhir paling tidak ada sebanyak 2.288 konflik agraria yang terjadi. Sebanyak 1.437 orang dikriminalisasi, 776 orang dianiaya, 75 orang tertembak dan 66 orang tewas di wilayah konflik agraria.
Dikatakan, masalah pertanahan, khususnya terkait dengan HGU, HGB dan HPL, Komisi II berupaya mengawasi, memeriksa dan mengurai permasalahannya terkait sejumlah isu penting. Isu tersebut antara lain berapa luas lahan HPL, HGU, dan HGB yang dikuasai negara dan sektor swasta.
Komisi II DPR RI dalam pengawasan masalah pertanahan khususnya terkait dengan HGU, HGB dan HPL dalam mengkaji isu-isu strategis tersebut mengacu pada sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang persoalan agraria.
Urgensi pengawasan Komisi II DPR RI tentang Pertanahan khususnya terkait dengan HGU, HGB dan HPL salah satunya adalah memperkuat peran negara dalam melakukan pengelolaan aset berupa lahan atau tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 tentang hak menguasai oleh Negara untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Dalam kaitan peran negara dalam mengelola aset berupa tanah berhubungan erat dengan keberadaan pemberian perizinan HGU, HGB dan HPL yang kerap bermasalah misalnya tumpang tindih pemilikan izin, hingga lahan terlantar. (*)