Oleh Djohermansyah Djohan*
OTONOMI daerah membolehkan daerah mengurus pemerintahannya sendiri berdasarkan prakarsa. Otonomi daerah bisa maju bila ruang berprakarsa itu tidak dikekang secara semena-mena oleh pemerintah pusat.
Daerah bebas berkreasi dan berinovasi sesuai kondisi lokalnya masing-masing. Karena Indonesia multikultural, sangat beragam. Lain daerah, lain pula tradisinya. Lain lubuk, lain ikannya.
Masing-masing daerah di bulan Ramadhan memiliki tradisi menyambut, menjalankan, dan menutupnya. Maka, meriahlah bulan puasa. Ada tradisi berlimau di Minangkabau.
Pasar takjil penganan berbuka puasa rame di mana-mana sambil ngabuburit. Anak-anak kampung main meriam betung bersorak gembira. Masjid berisi penuh jamaah sholat Tarawih. Hingga beduk dipukul bertalu-talu waktu malam takbiran.
Pejabat pemda sejak dulu kala ikut menyemarakkan dengan melakukan safari Ramadhan ke seantero wilayahnya. Dibentuklah oleh Pemda beberapa tim, ada yg dipimpin kepala daerah, wakil kepala daerah, dan sekda.
Mereka berbuka bersama para pegawai dan anak yatim di rumah dinas gubernur/bupati/walikota, lalu mengunjungi masjid untuk melaksanakan sholat tarawih berjamaah.
Komunikasi dijalin pihak pemda dengan masyarakat. Pidato sambutan sekaligus tausiyah tak lupa disampaikan pimpinan pemda, dan ditutup dengan penyerahan bantuan untuk memperindah atau mempercepat pembangunan masjid. Umat pun senang hatinya. Jarang-jarang mereka bisa jumpa sang boss pemda.
Tiba-tiba bagaikan geledek disiang bolong, Presiden Joko Widodo melarang pejabat bikin buka bersama dengan alasan yang mengada-ada. Covidlah, hidup sederhanalah, dan entah apa lagi.
Berantakanlah semua agenda safari Ramadhan pemda yang telah lama dipersiapkan, bahkan telah diakomodasi dalam APBD.
Kebijakan pusat yang tiba-tiba ini sungguh aneh, mencederai spirit otonomi daerah. Hanya dengan sebuah SE Menteri saja prakarsa daerah untuk beraktivitas yang dilindungi oleh konstitusi dan UU Pemda No 23 Tahun 2014 dikebiri.
Jika presiden tidak berkenan dengan acara buka bersama, baiknya berlakukan ditingkat pusat saja. Jangan dilarang pula daerah melaksanakan agenda safari Ramadhan yang telah menjadi tradisi panjang berpuluh tahun di seluruh Nusantara.
Karena itu, untuk menjaga relasi pusat dan daerah yang harmonis, seyogianya kebijakan pusat yang aneh itu segera direvisi. (*Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014, Founder i-Otda)