Audit Belanja dan Reformasi Anggaran ke Daerah

Rabu, 06 Mei 2015 - 08:35 WIB
ilustrasi


Selain perbaikan kebijakan subsidi BBM, pemerintah juga concern dengan persoalan reformasi Transfer ke Daerah (TkD), mengingat dalam beberapa tahun terakhir alokasinya justru terus meningkat secara tajam. Jika tahun 2005 saja alokasinya sudah mencapai Rp150,5 triliun, maka di tahun 2011 sudah melejit hingga Rp412,5 triliun dan terus meningkat menjadi Rp596,5 triliun dalam APBN-P 2014. Persoalan menjadi krusial ketika pemerintah, mulai tahun 2014 menggabungkan pos Dana Desa ke dalam alokasi TkD ini, sehingga dalam APBN-P 2015 alokasinya mencapai Rp664,1 triliun.
Awalnya, Transfer ke Daerah ini dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan otonomi di daerah yang dimulai sejak tahun 2001. Karenanya, di dalam mekanisme TkD memuat Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai mekanisme mengurangi ketimpangan vertikal serta Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mengurangi ketimpangan horisontal. Selain itu, diatur pula alokasi Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus untuk Papua, Papua Barat, NAD serta DIY.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tujuan alokasi menjadi semakin jauh dari awalnya. Sudah menjadi rahasia umum jika di hampir sebagian besar daerah di Indonesia, alokasi TkD khususnya DAU, hanya dihabiskan untuk belanja rutin administrasi (pegawai, barang dan perjalanan dinas). Sementara fungsi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi terkendala. Otonomi yang awalnya berupaya menciptakan kemandirian di daerah justru bertransformasi menciptakan aspek ketergantungan yang luar biasa bagi daerah terhadap alokasi Transfer ke Daerah.
Karenanya pemerintah kemudian mencoba meluruskan kembali aspek-aspek yang menjadi kesepakatan awal pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam sebuah acara pembukaan Musrenbangda di Provinsi Jawa Timur, Menteri Keuangan (Menkeu) menyebutkan bahwa dalam APBN-P 2015, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan reformasi terkait Transfer ke Daerah. Pertama, upaya berkelanjutan untuk menciptakan kapasitas fiskal daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah melalui penggalian PAD yang tepat. Kedua, mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan pusat dan daerah sekaligus kesenjangan ketimpangan pendanaan pemerintahan antardaerah.
Berikutnya adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik di daerah serta mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Keempat, memprioritaskan penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terluar, terpencil, terdepan serta pascabencana. Kelima, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dasar, baik melalui dana Transfer ke Daerah maupun PAD. Keenam, mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah yang lebih efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Ketujuh, peningkatan kualitas pengalokasian Transfer ke Daerah dengan tetap memperhatikan aspek akuntabilitas dan transparansi sekaligus meningkatkan mekanisme evaluasi dan pengawasannya.
Audit belanja
Penulis jelas sangat mendukung upaya reformasi kebijakan TkD tersebut. Sudah seharusnya pemerintah mulai memikirkan bagaimana kualitas dari pengalokasian TkD bukan sekedar mengakomodasi usulan daerah semata. Mekanisme audit belanja kemudian layak untuk diimplementasikan sebagai salah satu metode evaluasi serta monitoring kualitas tersebut.
Terlebih menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga bermaksud mengadakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atau lebih dikenal sebagai investigasi terhadap belanja Pemerintah Daerah (Pemda), khususnya terkait alokasi bantuan sosial (bansos), belanja barang serta belanja modal. Audit ini diperlukan untuk mengurangi peningkatan risiko penyimpangan pengelolaan keuangan publik yang nantinya berpotensi meruntuhkan sisi akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara.
Audit BPK ini nantinya akan membuka ranah substansi dari pola belanja di daerah itu sendiri selain investigasi pola belanja barang, sosial dan bansos. Bagaimana kaitannya arah belanja di daerah dengan pencapaian tujuan pelayanan masyarakat, pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah wajib menjadi ukuran kinerja utama. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan berlomba-lomba menggunakan anggarannya dengan sebijaksana mungkin.
Untuk mempercepat terciptanya kesadaran belanja di daerah yang bijaksana tersebut, pemerintah mungkin dapat menciptakan sistem reward and punishement. Untuk daerah yang terbukti menjalankan pola belanja yang bertanggung jawab dan akuntabel serta mengedepankan aspek pelayanan publik, dapat diberikan insentif tambahan dana yang diambilkan dari pengurangan anggaran daerah lainnya yang kebetulan mendapatkan punishement akibat pengelolaan belanja yang tidak bijaksana.
Jika sistem tersebut nantinya dapat berjalan sesuai yang diharapkan maka pola yang sama dapat diterapkan untuk kebijakan alokasi dana ke daerah yang lainnya seperti Dana Desa (DD). Perlu di catat bahwa di tahun 2015 ini, beberapa Desa diharapkan sudah mulai mengelola dana tersebut. Menurut hitungan pemerintah, alokasi DD meliputi Pulau Jawa dan Sumatera yang memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar yaitu Rp1,16 triliun dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak tiga puluh. Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar yaitu Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota.
Apabila merujuk kepada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014, telah disebutkan bahwa Dana Desa harus dikelola secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Sayangnya, di dalam regulasi tersebut tidak diatur lebih detail sanksi dan punishment apa yang akan diberikan jika ternyata Desa tidak mengelola dana secara bijaksana. Karenanya kemudian muncul ketakutan dari semua pihak bahwa Dana Desa hanya akan mengulang efek negatif dari mekanisme TkD.
Hal ini sebetulnya tak lepas dari adanya perbedaan cara pandang di antara pemerintah. Awalnya otonomi diagendakan bersifat bersifat a-simetris dengan tetap mengakui adanya kemajemukan daerah-daerah di Indonesia. Sayangnya konsep ”desentralisasi a-simetris” ini justru diterjemahkan menjadi konsep ”a-simetris desentralisasi” dimana Pemerintah Pusat memandang otonomi sebagai sistem yang mampu menciptakan kemandirian daerah, sementara daerah memandang otonomi justru sebagai mekanisme potong kompas (short-cut) demi mendapatkan alokasi anggaran mandiri.
Pemekaran merupakan contoh sederhana terjadinya kondisi ini. Pemerintah Pusat mendesain pemekaran sebagai alat untuk memutus mata rantai birokrasi dalam pelayanan publik demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas kepada masyarakat. Sebaliknya Pemda memandang pemekaran sebagai solusi singkat mendapatkan alokasi anggaran mandiri lepas dari daerah induknya, serta menciptakan eselonisasi pejabat baru di daerah. Padahal, Dana Desa sebetulnya memiliki potensi luar biasa dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini ada. Namun bagaimana menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, tentu menjadi tugas bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Harapannya dengan anggaran yang meningkat, desa dan seluruh daerah di Indonesia akan dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat desa dan daerah yang berkualitas, tentu menjadi input yang membawa Indonesia ke arah masa depan yang lebih gemilang. Untuk itu mari kita wujudkan seluruh mimpi-mimpi tersebut selagi belum terlambat. (kkg)

Oleh Joko Tri Haryanto(Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI).

 

Editor:

Terkini

Terpopuler