Oleh: Fadel Muhammad*
PERPAJAKAN nasional sedang mendapat cobaan. Terungkapnya kasus sejumlah aparatur negara bidang perpajakan yang menimbun kekayaan tidak wajar, menimbulkan kecurigaan adanya malapraktik dalam sistem perpajakan.
Kasus seorang kepala bagian umum di Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan merembet ke sejumlah pejabat lain di DJP. Yang mengejutkan, Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan bahwa, ada transaksi janggal senilai Rp300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Transaksi itu melibatkan lebih dari 460 pegawai di lingkungan Kemenkeu dalam periode 2009-2023 dan sebagian besar dilakukan oleh pegawai DJP.
Kita tunggu kelanjutan penelusuran transaksi mencurigakan dengan nilai yang fantastis itu. Yang mengkhawatirkan adalah adanya imbauan agar tidak membayar pajak karena mereka merasa pajak yang dibayarkan rakyat digunakan untuk memperkaya oknum-oknum DJP. Imbauan itu harus segera diredam melalui perbaikan di Kemenkeu agar kepecayaan publik pada Kemenkeu, khususnya DJP, kembali meningkat.
Pertanyaannya, apakah hierarki organisasi di Kemenkeu yang menyangkut DJP kurang ideal? Perlukan DJP dipisahkan dari Kemenkeu karena DJP memiliki beban pekerjaan yang besar sehingga pantas naik kelas menjadi lembaga setingkat menteri?
Usulan Pemisahan
Dulu ada wacana agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu dengan membentuk otoritas pengelola pajak independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Saya sempat mempraktikan ide pemisahan itu dalam skala kecil ketika menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo (2001-2009) dengan menarik biro keuangan yang semula berada di Sektretaris Daerah (Sekda) menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur dengan nama Badan Keuangan Daerah. Hal ini untuk memotong birokrasi menyangkut keuangan dan perpajakan di provinsi. Dan tentunya dengan peningkatan pengawasan.
Tentu tidak apple to apple membandingkannya dengan DJP. Saya cuma terinspirasi ketika pada periode 2014-2015 terpilih menjadi Ketua Komisi XI DPR RI yang salah satu mitra kerjanya adalah Kemenkeu. Pada saat itu saya termasuk yang ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP.
Badan ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Selain itu badan ini juga sifatnya independen, tentu memiliki garis koordinasi dengan kementerian terkait seperti Kemenkeu. Dalam hal ini, bisa dikatakan Badan Keuangan Negara yang mengurus pajak itu sifatnya semi-otonom.
Pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif membuat draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (RUU KUP) pada tahun 2015. Dalam RUU tersebut, pada Pasal 95, disebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan juga bahwa lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Namun sampai berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, pembahasan tersebut tidak tuntas. Pada DPR RI periode berikutnya (2019-2024), pemerintah mengajukan RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021. Akan tetapi tidak menyebutkan mengenai posisi DJP menjadi lembaga di bawah Presiden. Tidak tahu apa alasannya. Sampai akhirnya, melalui pembahasan yang relatif cepat, RUU KUP yang baru itu disahkan pada 29 Oktober 2021 menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pasca-penetapan UU itu, DJP tetap berada di bawah Kemenkeu.
Banyak Dukungan
Usulan DJP menjadi otoritas terpisah dari Kemenkeu dan kedudukannya setara dengan kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden akhirnya melempem. Akan tetapi sejak muncul kasus-kasus oknum pejabat di DJP yang hidup mewah dengan penghasilan tidak wajar, usulan DJP dipisah dari Kemenkeu kembali mengemuka meskipun kurang gencar.
Saya menilai, inilah saatnya kita kembali memikirkan untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu. Dulu banyak ahli yang mendorong agar DJP dipisah dari Kemenkeu agar ada lembaga setingkat menteri yang fokus menangani pajak. Apalagi penerimaan pajak Indonesia saat ini mencapai lebih dari 75% dari pendapatan negara. Pada APBN 2023, dianggarkan penerimaan negara akan mencapai sebesar Rp2.463 triliun dengan pendapatan dari pajak sebesar Rp2.021,2 triliun atau sekitar 82%. Anggaran itu cukup optimistis karena pada tahun 2022 realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.626,4 triliun di mana pajak menyumbang Rp2.034,5 triliun (77%). Tahun sebelumnya, realisasi APBN di masa pandemi mencapai Rp2.011,3 triliun, sedangkan pendapatan dari pajak sebesar Rp1.547,8 triliun atau 76%.
Kemenkeu menyebutkan bahwa pendapatan dari pajak dalam dua tahun terakhir (2021 dan 2022) selalu lebih tinggi dari target. Sayangnya, dengan adanya kasus-kasus tidak elok yang dilakukan pejabat perpajakan yang menimbun kekayaan tidak wajar itu, bisa menggerus kepercayaan publik terhadap DJP dan juga Kemenkeu. Hal ini harus segera diantisipasi karena bisa mempengaruhi pendapatan pajak.
Memang pemisahan DJP dari Kemenkeu membutuhkan kajian mendalam menyangkut berbagai hal. Apakah DJP yang terpisah dari Kemenkeu itu berupa Badan Keuangan Negara yang bersifat otonom atau semi-otonom. Kalau mengacu pada janji Joko Widodo sebelum menjadi Presiden, salah satunya adalah akan membuat DJP menjadi lembaga otonom lepas dari Kemenkeu dan langsung berada di bawah Presiden. Saat itu Jokowi menjanjikan lembaga pajak otonom itu bernama Badan Penerimaan Pajak. Tentu Jokowi paham betul bagaimana urgennya pemisahan itu sehingga sampai menjadi materi kampanye presidennya pada saat itu.
Pemisahan otoritas pajak dari Kemenkeu sudah banyak contohnya. Amerika Serikat, misalnya, lembaga pajaknya yang bernama Internal Revenue Service (IRS) merupakan lembaga otonom yang terpisah dari Kemenkeu AS. IRS sebenarnya tidak sepenuhnya otonom karena masih berkoordinasi dengan Kemenkeu AS. Akan tetapi dalam hal kewenangan untuk menentukan kebijakan, anggaran, dan sumber daya manusia (SDM), mereka otonom. Bisa dikatakan otoritas pajak di AS sifatnya semi-otonom.
Singapura juga memiliki otoritas pajak yang semi-otonom bernama Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). IRAS tidak berada di bawah Kementerian Keuangan meskipun mendapat supervisi dari dewan pengawas yang diketuai oleh Menteri Keuangan Singapura. Kewenangan IRAS antara lain melakukan negosiasi perjanjian pajak dan membuat draf undang-undang perpajakan.
Selain kedua negara itu, beberapa negara berkembang telah melakukan transformasi otoritas perpajakan dari konsep tradisional di bawah kementerian keuangan menjadi lembaga semi-otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority – SARA). Dari penelitian Arthur Mann (2004), keputusan negara-negara itu memilih SARA memberikan dampak terhadap, antara lain:
•Peningkatan pendapatan dari publik yang tercermin dalam rasio pajak yang lebih tinggi dan pertumbuhan pendapatan riil.
•Efisiensi yang lebih besar dalam pemanfaatan sumber daya publik melalui kemandirian/otonomi keuangan dan administrasi.
•Mempekerjakan staf yang kompeten, disiplin, dan lebih berkualitas.
•Depolitisasi administrasi perpajakan.
•Berkurangnya korupsi sehingga meningkatkan kredibilitas perpajakan khususnya dan pemerintah pada umumnya.
•Meningkatkan layanan wajib pajak dan mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak.
Beberapa negara yang sudah beralih ke SARA, menurut Mann, antara lain Argentina mulai tahun 1988, Kolombia (1991), Malaysia (1995/1996), Meksiko (1995/1997), Peru (1988/1991), Singapura (1992), dan Afrika Selatan (1996/1997). Indonesia bisa saja membentuk otoritas perpajakan semi-otonomi seperti yang sempat diajukan pada RUU PUK 2015. Pertama, karena momentumnya saat ini tepat menyusul sorotan publik pada DJP dan Kemenkeu. Kedua, juga untuk memenuhi janji kampanye Jokowi yang kini Presiden RI ke-7 yang akan memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan. Nama otoritasnya bisa Badan Penerimaan Pajak atau Badan Keuangan Negara, atau nama lain yang sesuai. (*Wakil Ketua MPR RI)