RIAUMANDIRI.CO - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menegaskan, putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memutuskan penundaan tahapan Pemilu 2024 dinilai melanggar konstitusi, Undang-undang (UU) Pemilu dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Diketahui, putusan PN Jakpus tersebut mengabulkan gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) agar KPU RI menghentikan seluruh tahapan Pemilu dan mengulangnya dari awal. Pemilu 2024 ditunda hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari.
"Ada tiga perspektif yang dilanggar dari putusan PN Jakarta Pusat. Pertama perspektif Konstitusi, kedua perspektif Undang-undang Pemilu, dan ketiga perspektif Undang-undang Kekuasaan kehakiman," Amin Fahrudin, Ketua Bidang Hukum DPN Partai Gelora Indonesia dalam Gelora Talks bertajuk 'Kontroversi Tunda Pemilu 2024: Mengapa dan Ada Apa?', Rabu (8/3/2023).
Menurut Amin, tujuan pemilu merupakan norma yang diatur di dalam Undang Undang Dasar 1945. Sehingga ketentuan pemilu ini, tidak hanya menjadi norma hukum, tapi juga menjadi norma konstitusi.
"Tidak ada peradilan manapun itu, yang bisa mengubah norma dalam pemilu di dalam konstitusi, kecuali Sidang Istimewa MPR dalam Sidang Amendemen Konstitusi. Jadi PN Jakarta Pusat telah mengubah norma konstitusi. Itu seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh MPR," ujarnya.
Karena itu, putusan PN Jakpus yang menunda Pemilu 2024 cacat hukum dan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. "Karena itu, kita abaikan saja putusan itu (putusan PN Jakpus)," katanya.
Sedangkan dalam perspektif UU Pemilu, kata Amin, ketika ada pelanggaran dan sengketa pemilu, ada empat jalur ajudikasi yang bisa ditempuh.
Pertama, ketika terjadi pelanggaran pidana pemilu, prosesnya di Bawaslu. JIka tidak selesai, maka berlanjut ke Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung.
Kedua, ketika terjadi pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara pemilu, maka prosesnya ada di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga, ketika terjadi sengketa hasil, itu prosesnya ada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Keempat, ketika ada terjadi pelanggaran terhadap proses atau tahapan pemilu, maka peradilannya setelah dari Bawaslu bisa mengupayakan hukum lebih lanjut kepada peradilan administrasi atau PTUN, jika merasa dirugikan.
"Artinya ketika kita mendengar adanya putusan dari PN Jakarta Pusat dalam perkara perdata ini jelas melanggar UU Pemilu," katanya.
Sementara dari perpektif UU Kekuasaan Kehakiman, lanjut Amin, telah diatur Sistem Peradilan Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Nah, PTUN ini yang mengadili putusan atau keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat individual dan konkret yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Dan keputusan KPU ini merupakan produk dari pejabat," jelasnya.
Jika upaya hukum di Bawaslu ditolak, kemudian di PTUN gugatannya tidak dapat diterima, maka Partai Prima bisa melanjutkan upaya hukum yang dia PTUN, yakni banding.
"Seharusnya yang dilakukan Partai Prima melanjutkan upaya hukum yang ada di PTUN, yaitu melakukan banding kepada PTUN," kata Amin.
Bahkan, dikatakan Amin, Prima bisa terus melakukan upaya hukum hingga upaya kasasi ke Mahkamah Agung atau MA.
Lebih lanjut, Amin mengatakan ketika putusan PN Jakpus dalam perkara perdata keluar dan berimplikasi pada perubahan norma dalam konstitusi menimbulkan tanda tanya besar.
"Apakah ini hanya sekadar kekeliruan dalam pandangan dan pertimbangan majelis semata-mata. Atau ada sesuatu yang lebih besar yang menggunakan instrumen hukum peradilan perdata untuk menunda pemilu?" tandasnya.
Harus Serius Banding
Sementara itu, mantan Ketua KPU RI Ilham Saputra mengatakan KPU harus serius mempersiapkan proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut. L
"Nah, saya berharap betul sebetulnya KPU kemudian memastikan seluruh proses berjalan (untuk mengajukan banding) dipersiapkan dengan baik," kata Ilham Saputra.
Dia mengharap itu karena sempat mendengar rumor KPU tidak sungguh-sungguh mempersiapkan proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut.
"Ya tentu ini harus dijawab dengan persiapan melakukan gugatan banding, dipersiapkan dengan sangat matang," katanya.
Ilham mengatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku seharusnya putusan penundaan pemilu tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, Undang-Undang Pemilu, bahkan Peraturan Mahkamah Agung.
Namun, lanjut dia, KPU juga tidak bisa mengabaikan begitu saja produk hukum berupa putusan tersebut dibiarkan, meski saat ini tahapan pemilu tetap dapat berjalan semestinya.
"PN yang memutuskan bukan kewenangannya, seharusnya melawan hukum, tetapi memang saya kira ini tetap berjalan proses (harus ditanggapi dengan banding sampai ada putusan yang membatalkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut)," ujarnya.
"Nah, saya juga tidak mengerti bagaimana PN Bisa memutuskan penundaan pemilu yang seharusnya itu bukan kewenangannya sama sekali. Saya kira semua pihak terkait penyelenggaraan pemilu juga seirama, pemerintah, yang menyatakan pemerintah tetap mendukung proses jalannya pemilu," imbuhnya.
Aktivis Hukum dan Akademisi Indonesia Feri Amsari mengatakan, PN Jakpus dinilai melampaui kewenangannya, karena masing-masing peradilan memiliki kewenangan absolut, tidak boleh peradilan lain mengadili kewenangan peradilan lain.
"Ini sama kalau ada kasus perceraian yang melibatkan anggota militer. Pengadilan Militer tidak boleh menyidangkan kasus perceraian, urusan bercerai bukan kompetensi absolutnya," kata Feri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menilai gugatan Partai Prima mengenai prosedur penyelenggaraan Pemilu, merupakan kompetensi PTUN, bukan kompetensi PN Jakpus.
"Perbuatan melanggar hukum atau PMH, itu sudah ditentukan di dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019, bahwa segala PMH harus dialihkan ke PTUN. Jika PTUN sudah menyidangkan dan putusannya tidak dapat diterima, harusnya diterima Partai Prima. Putusan PN Jakpus itu, jelas melanggar peraturan Mahkamah Agung. Putusannya luar biasa janggalnya," katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Agustyati menambahkan, putusan PN Jakpus tidak bisa dieksekusi, karena di dalam konstitusi disebutkan, bahwa Pemilu itu bukan hanya Langsung, Umum Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil saja, tetapi juga dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
"Perintahnya setiap 5 tahun sekali, kenapa? Ya untuk sirkulasi kepemimpinan kita. Hal ini juga menjadi evaluasi bagi pejabat publik kita, kalau kita suka dengan performanya, kita pilih lagi. Tapi kalau kita tidak suka, ya tidak dipilih lagi. Jadi ini salah satu alasan kenapa pemilu harus dilaksanakan secara periodik," kata Khairunnisa. (*)