RIAUMANDIRI.CO- Kejahatan terorisme yang memiliki relasi dengan kejahatan lain, khususnya narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), menjadi fokus kewaspadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini karena ada sejumlah narapidana terorisme (napiter) yang juga terlibat dalam jaringan atau bisnis narkoba.
Demikian dikatakan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Deputi 1) BNPT, Nisan Setiadi, dalam keterangannya di Jakarta, pada Sabtu (4/3/2023).
“Jadi napiter itu ada juga yang terlibat (jaringan) narkoba,” ujar Deputi Nisan.
Senada dengan Nisan, Kepala BNN Petrus R. Golose menambahkan relasi antara kejahatan terorisme dan narkoba sudah terjadi di Indonesia, dikenal dengan sebutan narkoterorisme.
Praktik perdagangan narkoba ini biasanya dilakukan untuk mendanai aktivitas jaringan teror karena menghasilkan uang sangat besar.
“Narkoterorisme ini muncul banyak di Amerika Selatan tapi sudah terjadi juga di Indonesia, uang yang dihasilkan dari perdagangan narkoba begitu besar untuk pendanaan terorisme,” ungkap Petrus.
Dia mencontohkan kasus penangkapan residivis penyalahgunaan narkotika berinisial PHU oleh Densus 88 pada Juni 2016 karena terlibat perencanaan penyerangan anggota Polri di Surabaya.
Selain itu ada kasus penangkapan seorang mantan napiter di Solo Raya oleh petugas Satuan Reserse Narkoba Polres Boyolali pada 2021 lalu karena diduga terlibat peredaran narkotika jenis sabu.
Menghadapi kejahatan transnasional tersebut, Nisan mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerapkan grand strategi Pentahelix atau pelibatan multi pihak bersama pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat, dan media.
Strategi ini dinilai tepat karena terorisme merupakan musuh bersama yang pencegahannya harus melibatkan seluruh elemen bangsa.
“Tugas pencegahan terorisme bukan pemerintah saja, tapi ada unsur akademisi, pemerintah, pelaku usaha, komunitas masyarakat, dan juga unsur media, kita tidak bisa sendiri,” pungkas Nisan Setiadi.