RIAUMANDIRI.CO- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dua unit mobil mewah milik mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir. Kendaraan itu diduga diperoleh dari hasil korupsi yang dilakukannya.
M Syahrir merupakan tersangka kasus suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit milik PT Adimulia Agrolestari (AA). Selain itu, dia juga menjadi tersangka dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Untuk perkara yang disebutkan terakhir merupakan hasil pengembangan yang dilakukan tim penyidik KPK. Dalam proses penyidikannya, lembaga antirasuah itu menyita 2 mobil mewah yang disinyalir dibeli Syahrir menggunakan uang hasil korupsi.
"Dalam proses pengumpulan alat bukti dugaan TPPU dari tersangka MS (M Syahrir, red) selaku Kakanwil BPN Riau, tim penyidik menemukan adanya dugaan kepemilikan dua unit mobil mewah merek Toyota tipe Sport dan Alphard yang diduga sumber uangnya berasal dari pidana asal korupsi," ujar Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK, Ali Fikri, Rabu (1/3).
"Selanjutnya dilakukan penyitaan untuk menjadi barang bukti dalam berkas perkara penyidikan," tambah Ali.
Diterangkan Ali, dua mobil mewah yang kini sudah disita itu, akan kembali dikonfirmasi kepada para saksi dalam proses pemeriksaan.
"Sekaligus juga didalami lebih lanjut melalui keterangan dari para pihak yang dipanggil sebagai saksi," imbuh Ali Fikri.
Dalam perkara TPPU, M Syahrir diduga telah mengalihkan, membelanjakan, mengubah bentuk hingga menyembunyikan, maupun menyamarkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi.
"Penerapan pasal dugaan TPPU ini juga dalam rangka untuk dilakukannya pemulihan aset atau asset recovery. Pengumpulan alat bukti diantaranya pemeriksaan saksi-saksi saat ini sedang dilakukan," pungkas Ali.
Untuk informasi, penetapan tersangka suap terhadap Syahril berdasarkan pengembangan penyidikan Bupati Kuansing, Andri Putra, dan General Manager (GM) PT AA, Sudarso.
Dalam perkara ini Andi Putra menerima suap Rp500 juta dan telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Begitu juga dengan Sudarso selaku pemberi suap.
Di perkara M Syahrir, KPK kembali menetapkan Sudarso sebagai tersangka. Selain itu, status serupa juga disematkan pada Frank Wijaya selaku Pemegang Saham PT AA. Keduanya kini dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Sebelumnya, Ali Fikri menjelaskan konstruksi perkara dugaan korupsi ini. Berawal Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan GM Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU perusahaan yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya. Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M Syahrir yang saat itu menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuansing yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Riau.
Sudarso menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk
dollar Singapura. Pembagiannya 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka.
Atas permintaan itu, M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA. Hasil pertemuan itu dilaporkan Sudarso ke Frank Wijaya, sekaligus mengajukan permintaan uang sebesar 120 ribu dollar Singapura atau setara dengan Rp1,2 Miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh Frank Wijaya.
Sekitar September 2021, atas permintaan M Syahrir, penyerahan uang dari Sudarso dilakukan di rumah dinas M Syahrir. Nama yang disebutkan terakhir juga mensyaratkan agar Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT AA. Dia menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Bupati Kuansing, Andi Putra.
"Terkait penerimaan uang, diduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan diantaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar," jelas Ali Fikri.
Pada medio September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, M Syahrir menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadinya maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari Frank Wijaya.
"Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," beber Ali Fikri.
Atas perbuatannya, M Syahrir sebagai penerima suap atau gratifikasi dijerat melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Dod)