RIAUMANDIRI.CO - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kinerja impresif APBN sebagai shock absorber menjadi instrumen penting melindungi rakyat dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Kinerja impresif APBN 2022 terlihat dalam defisit pada angka 2,38% dari target sebesar 4,5% serta pendapatan negara sebesar 115,9% dari target atau tumbuh 30,6%.
Kemudian untuk tahun 2023, Menko Airlangga mengingatkan APBN masih sebagai shock absorber untuk menjaga momentum pemulihan. Salah satunya, dia meminta para kepala daerah dapat mengoptimalisasi belanja pusat dan daerah untuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN) yang menjadi faktor penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.
"Di tahun 2023 walaupun sepertiga ekonomi dunia mengalami persoalan atau krisis, Indonesia dikatakan masih cukup optimis dengan pertumbuhan, diharapkan bisa di kisaran 4,7-5,3%," kata Menko Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini.
Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Esther Sri Astuti mendorong pemerintah untuk memiliki belanja yang efisien dan tepat sasaran.
“Seringkali program antarkementerian tumpang tindih, program pusat daerah juga double - double. Oleh karena itu anggaran belanja selain tidak efisien juga tidak tepat sasaran,” tegas Esther, Rabu (18/1/2023).
Selain itu, ada kendala dari pencairan dana pusat ke daerah. Hal ini karena pencairan APBN selalu terlambat karena birokrasinya relatif kompleks. "Jadi jika pemerintah mendorong belanja fiskal yang sehat sejak awal, maka kendala tersebut harus dapat diatasi," jelas Esther.
Dia menyarankan pemerintah memberikan target yang terukur seperti Key Performence Indeks (KPI). “Seharusnya dikaitkan dengan target KPI setiap instansi misalnya tingkat kemiskinan 7%, tingkat pengangguran berkurang, penyerapan tenaga kerja 4 juta per tahun, dan seterusnya," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai APBN belum mampu memulihkan ekonomi. Menurutnya, sebaran APBN harus merata jika pemerintah benar benar - ingin memulihkan ekonomi nasional.
Di sisi lain, sebagai shock absorber, pendapatan APBN dari pajak juga tidak boleh membebani rakyat. Pasalnya, APBN tahun ini sangat membebani rakyat dengan pengenaan pajak yang mencapai 70% dari total penerimaan negara. Menurutnya, ada kekurangan dengan pendapatan Rp2.463 triliun, namun belanja sebesar Rp3.061 triliun.
"APBN tidak rasional, karena mereka tahu, susah mencari dana segar untuk percepat pemulihan ekonomi," jelasnya.
Belanja Negara secara nasional dalam APBN tahun 2023 disepakati sebesar Rp3.061,2 triliun, yang dialokasikan melalui Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.246,5 triliun.
Menurut Uchok, pemulihan ekonomi akan bisa terlaksana jika anggaran tidak terpusat di pusat, tetapi merata ke daerah. Pasalnya, struktur APBN dari segi pemerataan belanja Rp814.718,5 triliun yang dikirim ke daerah, sisanya Rp1.648.306,4 triliun dibelanjakan oleh pemerintah pusat.
"Pola ini mencerminkan tidak adanya kepercayaan pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Sehingga sekitar 66% uang berputar di Jakarta yang penduduknya 11 juta dan 33 % untuk daerah yang memiliki penduduk 265 juta jiwa," pungkasnya. (*)