RIAUMANDIRI.CO - Delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempertahankan aturan sistem proporsional terbuka atau mencoblos calon anggota legislatif (Caleg) di Pemilu 2024.
Hal itu merupakan pernyataan sikap bersama delapan fraksi di DPR untuk merespons wacana pemberlakuan lagi sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai.
Delapan Fraksi itu adalah Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, NasDem, PPP, dan PKS. Sementara, PDIP satu-satunya fraksi yang tak ikut dalam pernyataan sikap bersama ini.
"Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia," bunyi salah satu poin pernyataan sikap delapan fraksi tersebut.
Pernyataan sikap ini yang sudah dikonfirmasi oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Selasa (3/1/2023). Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu berbunyi "Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka."
Delapan fraksi di DPR itu menegaskan akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju. Mereka juga mengingatkan KPU bekerja sesuai amanat Undang-Undang dan tetap independen.
"Tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," bunyi pernyataan sikap tersebut.
Di sisi lain, delapan fraksi DPR itu menilai berlakunya sistem proporsional terbuka telah mendekatkan rakyat dengan calon wakilnya di parlemen. Bagi mereka, rakyat sudah terbiasa berpartisipasi dengan cara demokrasi seperti demikian.
"Kemajuan demokrasi kita pada titik tersebut harus kita pertahankan dan malah harus kita kembangkan ke arah yang lebih maju, dan jangan kita biarkan kembali mundur," kata mereka.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia membenarkan bahwa delapan fraksi telah menyatakan sikap untuk merespons wacana pemilu memakai sistem proporsional tertutup.
"Kami sudah membangun komunikasi dengan 8 fraksi dan hasil dari komunikasi kami itu, kami sepakat pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sesuai UU no 7 tahun 2017," kata Doli.
"Dan kami menghargai MK yang dulu tahun 2008 sudah menegaskan bahwa pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara terbuka melibatkan rakyat langsung," sambungnya.
Wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi terbuka berawal dari gugatan uji materi yang diterima MK.
Ada kader PDIP dan beberapa orang lainnya mengajukan gugatan agar pemilu kembali dilakukan dengan sistem proporsional tertutup seperti dulu. Sistem ini pernah dipakai saat Pemilu 1955, pemilu sepanjang orde baru dan pemilu 1999. Saat ini, proses sidang masih berjalan dan MK belum menerbitkan putusan.
PDIP Tetap Ingin Pemilu Coblos Partai
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menanggapi santai ketika delapan fraksi di DPR menyatakan sikap menolak pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai.
Sejauh ini, hanya PDIP yang setuju jika pemilu kembali ke sistem tersebut. Hasto mengatakan, partainya tetap memiliki prinsip dalam berpolitik.
"Kami ini taat konstitusi, tapi bagi PDIP kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan bahwa berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol," kata dia di kantor pusat DPP PDIP, Jakarta, Selasa (3/1).
Hasto mengaku ingin menguatkan kaderisasi di internal partai lewat sistem proporsional tertutup.
Dia menilai sistem proporsional terbuka yang selama ini ditetapkan telah memicu banyak dampak negatif. Mulai dari ongkos pemilu yang mahal, menekan manipulasi, dan kerja-kerja penyelenggara KPU yang melelahkan.
"Jadi ada penghematan, sistem menjadi lebih sederhana dan kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi menjadi kurang," ucap Hasto.
Hasto menilai sistem proporsional tertutup dalam pemilu juga memungkinkan persaingan dilakukan secara sehat. Sebab, semua unsur masyarakat bisa ikut bersaing berdasarkan keahlian mereka dan bukan hanya berdasar popularitas.
"Jadi proporsional tertutup itu base-nya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi dewan, sementara kalau terbuka adalah popularitas," kata Hasto.