RIAUMANDIRI- Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman bersiap untuk menjamu presiden yang juga pemimpin Partai Komunis China Xi Jinping . Pemimpin komunis itu dijadwalkan berkunjung ke kerajaan Saudi pada Selasa (6/12/2022).
Para analis mengatakan kedekatan Pangeran Mohammed bin Salman dengan Xi Jinping—yang terjadi pada saat hubungan Washington dan Riyadh retak—menandakan tekad Riyadh untuk menavigasi tatanan global yang terpolarisasi terlepas dari keinginan sekutu Barat-nya.
Penguasa de facto negara kaya minyak itu kembali ke panggung dunia setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, yang merusak hubungan Saudi-AS.
Dia juga telah memicu kemarahan AS dengan kebijakan energi kerajaan, serta menentang tekanan Washington untuk membantu mengisolasi Rusia.
Dalam unjuk kekuatan sebagai calon pemimpin dunia Arab, Pangeran Mohammed bin Salman juga akan mengumpulkan para penguasa dari seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara untuk pertemuan puncak China-Arab selama kunjungan Presiden Xi Jinping yang akan dimulai besok.
"Riyadh bekerja sesuai dengan perhitungan strategis yang harus mengakomodasi Beijing, karena sekarang merupakan mitra ekonomi yang sangat diperlukan," kata Ayham Kamel, kepala Timur Tengah dan Afrika Utara di Eurasia Group, seperti dikutip Reuters, Senin (5/12/2022).
Menurut para analis, meskipun Amerika Serikat tetap menjadi mitra pilihan bagi negara-negara Teluk yang bergantung padanya untuk keamanan mereka, Riyadh memetakan kebijakan luar negeri yang melayani transformasi ekonomi nasionalnya saat dunia menjauh dari hidrokarbon—sumber kehidupan Arab Saudi.
"Tentu saja ada risiko memperluas hubungan dengan China menjadi bumerang dan mengarah pada perpecahan (lebih lanjut) dalam hubungan AS-Saudi, tetapi MBS tentu saja tidak mengejar ini karena dendam," kata Kamel.
Kunjungan Xi datang pada saat hubungan AS-Saudi berada di titik nadir, ketidakpastian membebani pasar energi global dengan Barat memberlakukan batasan harga pada minyak Rusia dan ketika Washington dengan hati-hati mengamati pengaruh China yang tumbuh di Timur Tengah. Pemerintah Saudi tidak menanggapi permintaan komentar atas kunjungan Xi Jinping dan agendanya.
Sebagai tanda kekesalan dengan kritik AS terhadap catatan hak asasi manusia (HAM) Riyadh, Pangeran Mohammed bin Salman mengatakan kepada majalah The Atlantic pada bulan Maret bahwa dia tidak peduli apakah Presiden AS Joe Biden salah paham tentang dia, dengan mengatakan Biden harus fokus pada kepentingan Amerika.
Dia juga menyarankan dalam sambutan yang disampaikan oleh kantor berita negara Saudi, SPA, pada bulan yang sama bahwa sementara Riyadh bertujuan untuk meningkatkan hubungannya dengan Washington, dia juga dapat memilih untuk mengurangi "kepentingan kami"—investasi Saudi—di Amerika Serikat. Arab Saudi memperdalam hubungan ekonomi dengan China.
Hubungan AS-Saudi di bawah pemerintahan Biden, yang sudah tegang karena masalah HAM dan perang Yaman di mana Riyadh memimpin koalisi militer Arab, semakin rusak karena perang Ukraina dan kebijakan minyak OPEC+.
Para diplomat di kawasan Timur Tengah mengatakan Xi akan mendapat sambutan mewah yang mirip dengan yang ditunjukkan Presiden Donald Trump ketika dia mengunjungi kerajaan itu pada 2017, dan berbeda dengan kunjungan canggung Biden pada Juli yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan Washington dengan Riyadh.
Trump ditemui oleh Raja Salman di bandara di tengah keriuhan sambil meraih lebih dari USD100 miliar dalam kontrak untuk industri militer AS. Biden, yang pernah bersumpah untuk menjadikan Riyadh "paria" atas pembunuhan Khashoggi, telah meremehkan pertemuannya dengan Pangeran Mohammed bin Salman, yang dia beri "tos tinju" alih-alih jabat tangan.
Para diplomat mengatakan kepada Reuters bahwa delegasi China diperkirakan akan menandatangani lusinan perjanjian dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya yang mencakup energi, keamanan, dan investasi. Pangeran Mohammed bin Salman fokus untuk menyampaikan rencana diversifikasi Visi 2030 untuk menyapih ekonomi dari minyak dengan menciptakan industri baru, termasuk manufaktur mobil dan senjata serta logistik, meskipun investasi asing langsung berjalan lambat.
Kerajaan itu berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur baru dan megaproyek di bidang pariwisata dan inisiatif seperti zona NEOM senilai USD500 miliar, anugerah bagi perusahaan konstruksi China. Arab Saudi dan sekutu Teluknya mengatakan mereka akan terus mendiversifikasi kemitraan untuk melayani kepentingan ekonomi dan keamanan, meskipun AS keberatan dengan hubungan mereka dengan Rusia dan China.
Pejabat AS menolak berkomentar ketika ditanya tentang hubungan bilateral Saudi-China menjelang kunjungan Xi Jinping. Washington telah menyuarakan keprihatinan atas penggunaan teknologi 5G China di Teluk Arab dan investasi China di infrastruktur sensitif seperti pelabuhan, termasuk di Uni Emirat Arab yang menghentikan proyek pelabuhan China karena kekhawatiran AS.
Riyadh dan Abu Dhabi membeli peralatan militer China dan sebuah perusahaan Saudi menandatangani kesepakatan dengan perusahaan China untuk memproduksi drone bersenjata di kerajaan tersebut. Analis Saudi Abdulaziz Sager, ketua Pusat Penelitian Teluk yang berbasis di Riyadh, mengatakan kepada televisi Arab Saudi; Asharq News, bahwa negara-negara Arab ingin memberi tahu sekutu Barat bahwa mereka memiliki alternatif dan hubungan mereka terutama didasarkan pada kepentingan ekonomi.
"Meskipun hubungan Saudi dengan China tampaknya tumbuh jauh lebih cepat daripada dengan Amerika Serikat, hubungan sebenarnya tidak sebanding," kata Jon Alterman, direktur program Timur Tengah di Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington. "Hubungan dengan China pucat dibandingkan dengan Amerika Serikat dalam hal kompleksitas dan keintiman," katanya.