RIAUMANDIRI.CO - Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana mengatakan, keinginan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang ingin menjadikan Pemilu 2024 sebagai pesta rakyat adalah juga keinginan rakyat. Hanya saja dia mengingatkan bahwa komitmen tersebut jangan sekedar ucapan.
“Pesan yang dimaksud harus dimaknai secara serius, bukan sekedar gimmick partai untuk meraih simpati publik dan kemudian malah mendapat cibiran publik,” kata Aditya, Jumat (2/12/2022).
Caranya menurut Aditya, tentu saja dengan politik yang sehat dan tidak transaksional.
“Hal yang dibutuhkan oleh pemilih menurut saya sederhana saja, partai dan politisinya tidak memulai memikat pemilih dengan uang dan tawarkan program yang konkrit dan nyata di dapil buat perubahan di masyarakat,“ kata dosen Universitas Indonesia (UI) ini.
KIB sejak awal hadir tampil dengan Program Akselerasi Transformasi Ekonomi Nasional (PATEN). Bahkan KIB sudah memiliki program atau gagasan tersebut sebelum mendeklarasikan calon presiden (capres) mereka.
“(Gagasan) Itu saja yang patut dilakukan parpol atau siapapun yang berkoalisi untuk membuat pemilih bahagia,” tandas Aditya.
Sebelumnya Plt. Ketua Umum PPP Mardiono saat bertemu dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menginginka Pemilu 2024 menghasilkan kualitas yang tinggi.
"Kita nikmati pesta demokrasi dengan menghasilkan sebuah kualitas yang tinggi agar kelak pemimpin yang akan memimpin bangsa ini mendapatkan amanah kepercayaan dari rakyat yang sesungguhnya," kata Mardiono.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan KIB sepakat ingin menjadikan demokrasi sebagai pesta rakyat. Menurutnya, KIB saat ini tengah membangun sebuah pondasi yang kuat untuk membangun Indonesia.
"Fondasinya harus kuat, dindingnya kokoh, sirkulasi udaranya bagus, dan kita juga berharap bangunan ini akan diperkuat," tegas Airlangga.
Koalisi Besar
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak ada masalah dengan upaya KIB untuk membangun koalisi besar. Sebaliknya, Dedi menganggap ada problem pada aturan pemilu terkait ambang batas pencalonan atau presidential threshold.
"Koalisi besar sah saja, yang perlu dikritik bukan upaya membangun koalisinya, tetapi sistem pemilu utamanya terkait ambang batas. Ini yang membuat ada upaya memonopoli peserta pemilu," terangnya.
Menurut Dedi, koalisi besar yang tengah dibangun KIB mempunyai sisi baik dan sisi buruk. Manfaat koalisi besar terletak pada kemampuan untuk menurunkan besarnya kontestasi publik.
"Satu sisi ada baiknya mengurangi kontestasi publik, tetapi tidak benar jika tafsirnya soal keberagaman peserta pemilu, karena konsolidasi publik menjadi tanggung jawab partai juga," ungkapnya.
Di sisi lain, koalisi besar akan berakibat pada minimnya pilihan publik yang pada gilirannya bisa memunculkan potensi seteru yang lebar besar.
"Imbas politik koalisi besar tentu minimnya pilihan publik, juga semakin sedikit pilihan, maka semakin besar kelompok yang bertarung, justru akan beresiko menimbulkan seteru yang juga lebih besar," pungkasnya. (*)