SALAH satu hambatan dalam investasi dan pembangunan di Indonesia karena kurangnya infrastruktur. Luasnya wilayah Indonesia dengan berbagai potensi ekonomi dan kekayaan alamnya belum bisa diakses karena minimnya infrastruktur.
Pepatah China mengatakan: "Kalau Ingin kaya, bangunlah jalan terlebih dahulu". Secara teknis, apabila kita ingin mengembangkan suatu daerah maka bukalah jalan raya, salurkan listrik, dipasoki bahan bakar dan air bersih, maka daerah tersebut akan berkembang ekonominya. Dari kondisi inilah Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menggulirkan ide mendirikan Bank Infrastruktur.
Sejak awal April ini beliau sibuk 'kampanye' untuk mendiskusikan perlunya Indonesia memiliki lembaga pembiayaan khusus infrastruktur, guna mempercepat pembangunan. Menurut Bappenas, kebutuhan pendanaan infrastruktur Indonesia periode 2015-2019 sebesar Rp5.519 triliun atau sekitar Rp 1.102 triliun rata-rata pertahunnya. Sedangkan ketersediaan dana dari APBN-P 2015 sebesar Rp290 triliun. Partisipasi dari pihak perbankan nasional hanya sekitar 16,8%. Kekurangan inilah yang akan dicari dengan gagasan tersebut. Embrio dari bank tersebut adalah menggabungkan Badan Usaha Milik Negara PT Sarana Multi Infrastruktur dan Pusat Investasi Pemerintah. Dengan modal awal Rp 25 triliun dan diharapkan akan mencapai Rp 150 triliun.
Gagasan mengenai Bank Infrastruktur juga sedang digalakkan Tiongkok. Dengan merangkul 57 negara, Tiongkok China akan mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Walaupun ide ini ditentang Amerika, karena dianggap akan menyaingi World Bank dan Asia Development Bank. Dua Bank Infrastruktur dunia asuhan Amerika. Tapi Tiongkok maju terus, karena melihat jika Asia kuat infrastrukturnya, maka potensi ekonominya akan menguasai dunia.
Pendirian Bank Infrastruktur ini menarik untuk dikaji dari beberapa isu berikut: Pertama, Mengenai bentuk badan usaha dari Bank Infrastruktur ini apakah bank atau lembaga keuangan nonbank. Sebab jika kegiatannya menarik dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut maka dia adalah bank. Sementara bentuk usaha perbankan dikenal sangat ketat dengan berbagai peraturan yang harus ditaati. Baik mengenai batas maksimum pemberian kredit, jaminan utang, rasio liquiditasnya, dan lain-lain. Jika Bank Infrastruktur diperlakukan demikian ketat maka operasionalnya bisa terhambat. Namun jika dia berbentuk Lembaga Pembiayaan (nonbank), sumber dananya dari mana? Jika dana yang dihimpun dengan menerbitkan obligasi (surat utang) yang ditawarkan pada masyarakat (swasta), maka jelas ini adalah utang jangka panjang. Membangun jalan, pelabuhan, jembatan, pembangkit energi, sarana prasarana umum bukanlah bisnis yang cepat kembali modal. Tentunya hal ini akan menjadi perhitungan bagi swasta untuk ikut andil di dalamnya. Begitu pula perhitungan bunga atau bagi hasil yang harus diberikan Bank Infrastruktur kepada kreditur.
Kedua, kalau itu berkaitan dengan utang jangka panjang, persoalan yang muncul adalah mengenai jaminan utang. Idenya untuk memberikan Barang Milik Negara (BMN) sebagai jaminan dalam menerbitkan Surat Berharga Obligasi. Artinya, proyek tersebut yang menjadi jaminan. Pertanyaan selanjutnya: jika yang mengelola Bank Infrastruktur adalah BUMN (PT Sarana Multi Infrastruktur) maka harus diperjelas dulu status hukum jaminan tersebut. Ia milik negara atau milik BUMN? Karena hubungan hukumnya antara swasta (sebagai kreditor) dengan BUMN (sebagai debitur). Jika berfikir pada kondisi terburuk, apakah jaminan tersebut dapat disita untuk kepentingan kreditur?
Mungkin ada pola pengubahan status (konversi) dari surat berharga obligasi (utang) menjadi saham (modal penyertaan). Artinya ketika utang tidak terbayar, maka kepemilikan proyek infrastruktur beralih ke kreditur (swasta). Jika krediturnya pihak dalam negeri mungkin tidak masalah. Tetapi jika berasal dari modal asing pasti bikin sensi. Jembatan, jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit energi sarana umum yang kita gunakan menjadi milik orang asing. Mungkin saya saja yang berfikir terlalu rumit, tapi setidaknya dipikirkan masak-masak dulu oleh pemerintah mengenai pendirian Bank Infrastruktur, sebelum nantinya menimbulkan persoalan bagi anak cucu. (kro)
Oleh: Mukti Fajar (Penulis adalah Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).