Oleh Jamiluddin Ritonga*
PARTAI politik mulai menggaet kaum milenial dan artis menjadi juru bicara (jubir) partainya. Ada dua makna yang dapat menjelaskannya.
Pertama, pemilih milenial jumlahnya sangat besar dalam Pemilu 2024. Partai mana yang dapat menggaet kaum milenial, partai tersebut berpeluang mendapatkan suara signifikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan memenangkan Pileg dan Pilpres 2024.
Hal itu sejalan dengan prinsip model konvergensi. Model ini menganggap ruang kehidupan yang sama para partisipan komunikasi dapat meningkatkan efektivitas komunikasi.
Bila jubirnya dari milenial, maka ruang kehidupannya dengan sebagian besar calon pemilih akan relatif sama. Kesamaan ruang kehidupan berpeluang menghasilkan kesepahan diantara sesama peserta komunikasi.
Dengan adanya kesepahaman, parpol berharap para milenial setidaknya tertarik pada partainya. Harapannya, melalui ketertarikan itu para milenial dapat memberi suara kepada partainya.
Kedua, melalui jubir artis, parpol berharap dapat meningkatkan daya tarik partainya. Kehadiran artis sebagai jubir, kaum milenial setidaknya akan menoleh partainya.
Hal itu terjadi karena sebagian masyarakat Indonesis masih pemilih emosional. Mereka tidak perlu substansi dari parpol.
Karena itu, jubir partai dianggap tidak perlu yang kredibel. Jubir seperti ini tentu lebih pas untuk pemilih yang rasional.
Jadi, pemilihan jubir dari artis semata untuk memperoleh sisi daya tariknya. Aspek ini memang pas untuk pemilih emosional. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul)