RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak pemerintah transparan terkait penerimaan negara dari hasil hilirisasi nikel. Ia minta pemerintah harus dapat menjelaskan besarnya keuntungan negara dari total nilai ekspor nikel tersebut.
Mulyanto minta pemerintah jangan sekedar tebar pesona dengan membangga-banggakan peningkatan nilai ekspor hilirisasi nikel dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun tapi tanpa menyebutkan besaran penerimaan bagi negara.
"Padahal besaran nilai pendapatan negara itu sangat penting untuk mengetahui siapa yang diuntungkan dari peningkatan nilai ekspor nikel ini?" kata Mulyanto Mulyanto kepada media ini, Senin (31/10/2022).
Pasalnya angka yang disebut Pemerintah hanyalah nilai ekspor nikel, bukan penerimaan negara alias keuntungan untuk Indonesia.
"Jadi, Pemerintah jangan tepuk dada dulu. Apa yang harus dibanggakan? Angka ekspor kan baru indikator antara. Yang kita kejar adalah besarnya penerimaan negara dari program hilirisasi nikel ini," katanya.
"Harus dibuka kepada publik, bahwa yang menikmati keuntungan dari ekspor nikel adalah industri smelter asing, yang ujung-ujungnya dibawa ke negeri asal. Sama sekali, bukan merupakan keuntungan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya. Padahal insentif fiskal dan non-fiskal hilirisasi nikel ini kan sangat luar biasa," imbuhnya.
Mulyanto menjelaskan selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi berupa fero nikel dan NPI (nikel pig iron) akan berlaku pada tahun 2022. Itu pun baru rencana. Sampai hari ini di ujung tahun 2022 masih belum ditetapkan.
Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn). Karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun.
Kebijakan hilirisasi nikel melarang penambang mengekspor ore nikel. Mereka harus menjual kepada industri smelter sesuai dengan harga patokan mineral dalam negeri yang kurang dari setengah harga nikel internasional.
Pekerja yang didatangkan dari luar negeri ditengarai tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis, bahkan dihebohkan merupakan tenaga kerja kasar. Hal ini kembali menggerus penerimaan negara.
"Jadi dapat dipahami kalau mantan Wapes Jusuf Kalla serta Bang Yos mengkritik keras soal TKA ini. Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara.
Belum lagi repotnya kita wara-wiri ke Tesla untuk sekedar menjadi marketing produk setengah jadi nikel ini. Ditambah harus jadi bemper atas tekanan WTO, karena melarang ekspor ore nikel," kata Mulyanto.
Karena itu, lanjut Mulyanto, PKS mendesak Pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel ini, sebelum mengembang pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit.
"Harus clear dahulu road map tahapan dan produk hilirisasinya, sehingga benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiflier effect yang besar bagi masyarakat. Sehingga negara benar-benar diuntungkan," tandasnya. (*)