RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI dari PKS Mulyanto menilai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lamban melakukan riset penyebab gagal ginjal akut pada anak. Sementara Kemenkes sekarang hanya sibuk aksi sporadis yang belum tentu efektif mengatasi masalah.
"Penelitian terkait sebab-sebab terjadinya maupun kebijakan impor antidotum Fomepizole dari Singapura sebagai obat pada pasien kasus gagal ginjal akut (GGA) sebagai kebijakan yang bersifat sporadis. Karena tidak jelas lembaga mana yang melakukan penelitian tersebut. Memang terkesan Kemenkes gerak cepat. Namun apakah kesimpulan yang diperoleh tersebut benar-benar dapat dikatakan valid secara scientific. Ini masih perlu pembuktian lebih lanjut," ujar Mulyanto kepada media ini, Kamis (27/10/2022).
Mulyanto menjelaskan, saat ini Kemenkes tidak lagi memiliki badan penelitian dan pengembangan (litbang), termasuk lembaga kajian pendukung kebijakan. Sebab seluruh badan litbang baik di kementeran teknis maupun di lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) telah dilebur ke dalam BRIN.
Namun dia menyayangkan, sampai hari ini tidak terdengar gerak-cepat BRIN untuk meneliti sebab-sebab sekaligus obat bagi pasien kasus gagal ginjal akut yang telah menelan korban ratusan anak ini.
Mulyanto menegaskan BRIN terkesan lamban dalam merespons kebutuhan riset secara sektoral. Bukan hanya pada kasus gagal ginjal akut hari ini di Kemenkes, namun juga pada kasus penyakit kuku-mulut sapi sebelumnya di Kementeran Pertanian.
Akhirnya, secara de facto, yang bergerak melaksanakan riset adalah kementerian teknis yang bersangkutan dengan kelembagaan, SDM dan anggaran riset seadanya. Karena dengan terbentuknya BRIN, kementerian teknis tidak lagi memiliki SDM, anggaran, dan laboratorium riset. Ini kan jadi kontra produktif.
"Karenanya sudah selayaknya, riset untuk mendukung kebijakan sektoral ini dikembalikan lagi pada kementerian teknis. Jangan dilebur ke dalam BRIN," imbuhnya.
Untuk diketahui Kementerian Kesehatan bersama IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan profesi terkait telah melakukan surveilans atau penyelidikan epidemiologi untuk mencari sebab sebab terjadinya kasus GGA pada anak.
Pemerintah menduga kasus GGA pada anak ini akibat adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu yang saat ini sebagian sudah teridentifikasi.
Pemerintah juga sudah menyingkirkan kasus yang disebabkan infeksi, dehidrasi berat, oleh perdarahan berat termasuk keracunan makanan minuman. Dengan kata lain penelitian tersebut telah menjurus kepada salah satu penyebab, yaitu adanya keracunan atau intoksikasi obat.
Sementara itu Kemenkes memutuskan menggunakan obat penawar antidotum Fomepizole setelah melakukan tes toksikologi pada sejumlah pasien gagal ginjal akut yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Impor antidotum Fomepizole dari Singapura sebagai obat kasus GGA pada anak ini sudah dilakukan. (*)