Oleh AA LaNyalla Mahmud Mattalitti*
Rabu 12 Oktober lalu, saya bertemu dengan beberapa pengusaha Singapura. Selain tukar pikiran dan dialog seputar ekonomi, saya juga menyampaikan gagasan. Terkait posisi Indonesia masa depan. Karena bagi saya, meskipun masih merupakan gagasan, ini penting untuk ditawarkan dan diketahui dunia.
Pertemuan tersebut difasilitasi sahabat saya, Saudara Suryo Pratomo. Duta Besar Indonesia untuk Singapura. Hadir juga perwakilan atase ekonomi, atase perdagangan dan perwakilan BKPM.
Saya menyampaikan tiga isu. Pangan, Oksigen dan Pariwisata Alam. Yang akan menjadi andalan Indonesia masa depan. Seperti juga pernah saya sampaikan dalam sebuah acara yang dihelat Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Mengapa? Karena ketiga hal itu jika kita kerjakan dengan benar. Sesuai roadmap yang benar. Maka Indonesia akan menjadi negara penting di dunia ini. Negara yang dibutuhkan. Sebagai hope of life penduduk bumi.
Karena hari ini, semua negara mulai menyiapkan re-posisi untuk menyongsong masa depan. Seharusnya Indonesia juga melakukan. Tentu beda negara, beda posisi yang diambil. Harus based on keunggulan masing-masing. Apakah keunggulan Kompetitif atau Komparatif yang dimaksimalkan.
Korea Selatan sudah melaunching posisi masa depannya sebagai negara industrial weapon di Asia. Arab Saudi punya Saudi Vision 2030. Bahkan Uni Emirat Arab konsisten dengan membangun ikon yang menjadi magnet dunia. Mereka sekarang sedang menyiapkan membangun; Bulan di negaranya. Iya Bulan. Replika Bulan. Sehingga turis manca negara tidak perlu naik SpaceX untuk ke Bulan. Cukup naik pesawat ke Dubai.
Lalu Tiongkok sudah memulai proyek menyulap kawasan gurun mereka menjadi hijau. Gurun yang bisa ditanami. Maklum, Tiongkok harus memikirkan makan 3 kali sehari bagi 1 miliar lebih penduduknya.
Lalu kenapa Indonesia bagi saya harus memperkuat pangan, oksigen dan pariwisata alam? Karena itu keunggulan komparatif yang bangsa ini miliki. Yang seharusnya menjadi concern kita semua.
Perlu dicatat. Isu tentang ketahanan dan kedaulatan pangan praktis menjadi isu penting dunia. Selain energi dan pemanasan global serta lingkungan. Karena pangan bisa menjadi pemicu perang dan ketegangan kawasan di masa mendatang.
Apalagi krisis pangan dunia diperkirakan terjadi menjelang tahun 2050 mendatang. Dimana pada saat itu, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah penduduk usia produktif. Mencapai 70 persen populasi dari total penduduk di Indonesia.
Badan Pangan Dunia (FAO) meramalkan akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan sebanyak 60 persen di tahun tersebut. Agar penduduk dunia tidak terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan.
Di sinilah pentingnya orientasi negara. Paradigma dan cara membangunnya. Agar tidak salah pendekatan dan salah urus.
Karena bagaimana mungkin Indonesia hari ini masih membangun ketahanan pangan dengan paradigma yang tidak tepat? Atau bahkan dengan paradigma yang keliru.
Pertama; Indonesia sebagai negara maritim seharusnya lebih banyak mengkonsumsi ikan. Bukan daging sapi. Karena populasi sapi yang lambat pasti tidak terkejar. Terutama bila ratusan juta penduduk ini terpola mengkonsumsi daging. Akibatnya kita harus selalu harus impor daging. Karena peternakan di dalam negeri tidak akan mencukupi.
Celakanya, begitu terjadi wabah penyakit hewan ternak, negara ini masih harus melakukan impor vaksin. Karena lemahnya industri dasar farmasi kita.
Itu artinya; kita tidak mengamankan apa yang kita kembangbiakkan untuk kita makan dari ketergantungan komponen vital yang masih harus diimpor.
Kedua; kita mengejar tingkat produksi beras nasional dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida sebagai jalan keluar. Bahkan diterapkan juga di dalam program food estate.
Bagi saya kebijakan tersebut justru membelenggu kita. Karena selain merusak lingkungan. Juga ada komponen utama yang harus kita impor untuk menjaga produksi pangan tersebut.
Karena untuk memproduksi pupuk kimia dan pestisida, sebagian komponennya masih harus kita impor. Dan fakta sampai hari ini, Indonesia masih menjadi importir pupuk kimia.
Lebih dari itu, dampak pestisida dan pupuk kimia yang larut ke dalam tanah dan larut terbawa air ke muara hingga laut, juga memperburuk kualitas tanah dan terumbu karang serta pencemaran pesisir. Dan jelas berdampak terhadap sektor perikanan kita. Sehingga ikan semakin menjauh dari zona tangkapan nelayan kecil.
Dampak multi dimensi ini dalam jangka panjang membuat bangsa ini tergantung kepada impor beberapa komoditas pangan. Inilah yang menguntungkan para pemburu rente dari impor. Sehingga kondisi ini berlarut hingga hari ini.
Ketiga, negara-negara di dunia sudah menerapkan bioteknologi agrikultural. Tetapi Indonesia masih memperdebatkan, apakah aman untuk dikonsumsi. Padahal kita memiliki Lembaga Riset dan Penelitian untuk itu.
Amerika Serikat memiliki luas tanaman berbasis bioteknologi terbesar di dunia, yaitu 75 juta hektar untuk tanaman kapas, kedelai, dan jagung. Sementara Brazil menggunakan bioteknologi untuk tanaman kedelai dengan luas lebih dari 50 juta hektar. Begitu juga Argentina memiliki tanaman berbasis bioteknologi seluas 23 juta hektar. Sedangkan di Asia, India tercatat menggunakan tanaman berbasis bioteknologi seluas 11,4 juta hektar.
Artinya, negara-negara di dunia sudah menempuh peta jalan ini sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan. Karena memang secara teori, bioteknologi juga bisa menjadi jawaban atas perubahan iklim global, krisis air, sekaligus pengurangan pestisida dan emisi karbon dunia. Itu jika orientasi bioteknologi dibaurkan dengan program lingkungan hidup dan energi hijau.
Karena itu, orientasi negara menjadi sangat penting. Negara harus mengarahkan program rekayasa genetika dengan pendekatan bioteknologi dengan target hasil yang bisa dikembangkan. Yaitu; tahan terhadap perubahan iklim, aman dikonsumsi, serta berdampak positif terhadap lingkungan.
Jadi, kalau kita kembali membaca sejarah. Membaca konsepsi nilai-nilai luhur bangsa ini, sebenarnya cukup jelas. Yaitu; kita menanam apa yang bisa tumbuh. Dan kita memakan apa tumbuh di sini.
Dan negeri ini telah diberi anugerah oleh Allah SWT sebagai negeri yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Negeri yang memiliki dua iklim. Negeri yang berada di garis katulistiwa. Negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada.
Sehingga seperti lirik lagu Koes Plus, yang dikatakan; bukan lautan, hanya kolam susu, ikan dan udang menghampiri dirimu, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Itulah kondisi yang seharusnya.
Artinya tidak ada konsepsi impor pangan. Bila kita menyadari konsepsi dari nilai fundamental tersebut.
Karena itu seperti saya sebut tadi di atas, bahwa ke depan, revolusi ketahanan pangan adalah semua variable untuk memastikan ketahanan pangan tersebut ada di dalam negeri. Bahan bakunya ada di sini. Dan bisa kita produksi sendiri.
Oleh karena itu, saat menyampaikan pidato Sidang Bersama DPR dan DPD di depan Presiden dan Wakil Presiden, pada Agustus 2021 silam, saya telah sampaikan, pentingnya negara ini membangun industri dasar. Untuk mengamankan posisi yang hendak dicapai negara ini. Termasuk heavy industri yang belakangan bukannya direstorasi, tetapi justru banyak ditutup oleh pemerintah.
Negara ini harus memiliki industri yang mendukung ketahanan pangan. Baik peternakan, perikanan, perkebunan maupun hasil laut. Sebab, jika tidak, itu namanya kita salah berpikir. Karena membangun sebuah kedaulatan, ternyata kita tidak berdaulat atas apa yang mau kita bangun.
Berikutnya, kita memiliki keunggulan komparatif Biodiversity hutan. Tentu ini adalah anugerah. Sayangnya kita terus memangkas hutan untuk diberikan kepada pemegang konsesi lahan. Padahal jika ini kita kelola dengan ketat, negara ini adalah penghasil oksigen untuk dunia.
Dan yang terakhir adalah Indonesia adalah surga pariwisata alam. Jika ini dikelola dengan serius, silakan wisatawan dunia ke Dubai. Tetapi, orang modern pasti akan bosan dengan moderenisasi. Kerinduan akan alam yang natural akan selalu ada di alam bawah sadar setiap manusia.
Tetapi untuk menyiapkan Indonesia masa depan tentu butuh banyak uang. Karena negara-negara lain juga menyiapkan miliaran dollar untuk menyongsong re-posisi mereka. Lantas Indonesia; dari mana uangnya?
Kita tidak boleh membiarkan negara ini hanya sebagai “host” atau master of ceremony alias “MC” untuk investor yang akan mengeruk Sumber Daya Alam dan lahan hutan di Indonesia.
Kita hanya menyediakan panggung dan karpet merah untuk bintang tamu. Tidak ada lagi pemisahan yang tegas, antara siapa yang berhak mengelola public goods dan commercial goods atau bagaimana kuasi di antara keduanya.
Negara seolah “dipaksa” atau “terpaksa” menyerahkan penguasaan atas apa saja kepada Swasta Nasional maupun Swasta Asing, atau share holder antara mereka. Seolah sudah tidak ada lagi daftar negatif investasi.
Hanya demi angka Pertumbuhan Ekonomi yang ekuivalen dengan Tax Ratio. Padahal seharusnya negara dengan keunggulan komparatif seperti Indonesia, lebih mengutamakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sehingga Indonesia sudah meninggalkan Konsep Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Bahkan sebaliknya. Justru menjabarkan ideologi baru, bukan lagi Pancasila, tetapi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu hari ini Indonesia menjadi negara dengan sistem ekonomi Kapitalis Liberal.
Inilah yang sekarang saya kampanyekan. Untuk menata ulang Indonesia. Agar bangsa ini kembali berdaulat, berdikari dan mandiri. Agar negara kembali berdaulat atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Semoga Allah SWT ridlo. (*Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia).