Oleh M Jamiluddin Ritonga*
MENDEKATI pemilu presiden atau Pilpres 2024, semakin banyak bakal calon presiden (bacapres) melakukan blusukan menemui rakyat.
Pendekatan blusukan yang dipopulerkan Joko Widodo (Jokowi) itu awalnya memang seperti magnet. Rakyat begitu terkesima terhadap Jokowi yang dinilai sangat merakyat.
Namun belakangan ini pendekatan blusukan terkesan kehilangan magnetnya. Sebagian rakyat sudah tidak lagi menilai pendekatan itu sebagai cermin merakyatnya sang pelaku.
Pendekatan blusukan justru dinilai hanya bagian dari pencitraan. Akibatnya, sebagian masyarakat mulai antipati melihat bacapres melakukan blusukan.
Namun demikian, pendekatan blusukan masih bisa dapat mendongkrak popularitas dan elekrabilitas bacapres selama dilakukan dengan hati. Hal itu juga hendaknya dilakukan secara kontinu, tidak hanya saat mendekati pilpres.
Masalahnya, apakah bacapres itu melakukan blusukan dengan hati dan kontinu?
Kalau melihat blusukan yang dilakukan Puan Maharani, kesanya belum menggunakan pendekatan hati. Puan juga baru belakangan ini intens melakukan blusukan.
Karena itu, sebagian masyarakat akan memaknai blusukan Puan hanya bagian untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya.
Akibatnya, Puan tidak akan memperoleh magnet blusukan meskipun itu dilakukannya dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi.
Berbeda halnya bila hal itu dilakukan oleh Anies Baswedan. Anies selain sudah rutin melakukan hal itu selama menjabat Gubernur DKI Jakarta, tapi ia juga melakukannya dengan hati.
Karena itu, setiap Anies melakukan blusukan selalu mendapat respon yang luar biasa. Di sini Anies masih memperoleh magnet dari blusukan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul)