RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto minta pemerintah tidak over acting alias lebay mendesak SPBU Vivo menaikkan harga BBM Revvo 89 yang dijual Rp8.900 per liter.
Menurut Mulyanto, pemerintah tidak berhak dan berwenang mengatur harga bawah bahan bakar minyak (BBM) non subsidi dari operator swasta.
"Harga BBM yang murah ini kan menguntungkan masyarakat. Di tengah harga BBM subsidi Petalite RON 90 yang seharga Rp10.000 per liter," kata Mulyanto, Senin (5/9/2022).
Mulyanto minta pemerintah membuka data harga pokok produksi (HPP) BBM bersubsidi yang berlaku selama ini. Ia merasa ada yang aneh terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi dua hari lalu.
Karena pada saat yang sama harga BBM non subsidi di Pertamina, Shell dan Vivo malah diturunkan, menyusul anjloknya harga minyak dunia.
Untuk BBM jenis Revvo 89 yang harga sebelumnya Rp9.290 per liter turun menjadi Rp8.900 per liter. Akibatnya masyarakat menyerbu SPBU Vivo.
Melihat perbedaan harga jual tersebut Mulyanto minta pemerintah perlu memberi penjelasan, kenapa harga jual Pertalite yang bersubsidi malah lebih mahal dari BBM non subsidi Revvo 89.
"Ini kan janggal. Pemerintah harus dapat menjelaskan berapa harga pokok produksi (HPP) Pertalite ini yang sebenarnya. Masa harganya masih lebih mahal daripada harga BBM di SPBU swasta. Selisih harga ini pasti akan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat," kata Mulyanto.
Sebab, kalau pemerintah benar-benar objektif menghitung harga pokok produksi dan harga keekonomian BBM, semestinya tidak ada alasan untuk menaikkan harga BBM jenis apapun. Karena harga minyak dunia terus anjlok hingga USD 89 per barel.
Sementara Pemerintah dan DPR sudah sepakat menetapkan asumsi makro harga minyak dunia sebesar USD 100 per barel.
"Artinya, fluktuasi harga minyak dunia masih dalam batas kemampuan anggaran negara. Dengan demikian Pemerintah tidak punya alasan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu. (*)