Oleh: Taufik Hidayat S.S (Atan Lasak)
"Kalau kail panjangan sejengkal, jangan dalamnya laut hendak diduga"
Ketika membaca opini yang ditulis oleh HM. Nasir Day Nurdin berjudul 'Pasang Surut Melayu di Negeri Melayu' yang dilansir oleh salah satu media online Pekanbaru pada Rabu (20/7/2022), sudah bisa disimpulkan bahwa pembuat opini tidak mencermati sosok Syamsuar yang secara gamblang telah menjulangkan Melayu di negeri Melayu.
Kalaulah ingin mengungkai apa yang telah diperbuat seorang pemimpin dengan kebijakannya, sebaiknya jangan melihat secara sepenggal, karena yang sepenggal-sepenggal itulah yang sering menyulut keresahan orang banyak. Lebih baik membuat pengakuan yang seimbang dan setimbang daripada berusaha menyembunyikan kenyataan.
Mari mengingat bagaimana ketika Syamsuar menjadi Bupati Siak. Ia nyatakan bahwa budaya merupakan identitas suatu daerah, dan budaya Melayu merupakan payung negeri sehingga dengan bangga ungkapan Siak The Truly Malay merata-rata bergaung di Kabupaten Siak.
Lalu, apakah hanya sekedar ungkapan?
Tentulah sebagai anak jati Melayu Riau yang melangkah dan berkiprah dari bawah, Syamsuar sangat memahami apa itu Melayu dan bagaimana sepatutnya merawat sejarah yang membuktikan kegemilangannya.
Maka di masa kepemimpinannya, dibuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Penetapan Kampung Adat di Kabupaten Siak, membentuk Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Siak, dan menetapkan status cagar budaya terhadap sejumlah objek penting peninggalan Kesultanan Siak Sri Indrapura serta tinggalan-tinggalan masa lalu lainnya yang masih dapat disaksikan keberadaannya pada hari ini.
Lebih lanjut di periode kedua kepemimpinannya, Syamsuar membawa Siak bergabung dengan Jaringan Kota Pusaka Indonesia sebagai langkah maju untuk Siak menuju Kota Warisan Dunia oleh UNESCO. Begitu juga dengan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Provinsi Riau. Satu-satunya pengakuan penetapan WBTB pertama dari Provinsi Riau secara nasional justru diusulkan dari Kabupaten Siak pada tahun 2013, yaitu Tenun Siak. Dua tahun setelah itu barulah menyusul dari kabupaten lainnya hingga sekarang.
Di bawah kepemimpinan Syamsuar, pada tahun 2015 atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan Kebudayaan memberikan sebuah pengakuan berupa Penghargaan Kebudayaan kepada Pemerintah Kabupaten Siak.
PIN Emas pun disematkan Mendikbud pada masa itu, Anies Bawesdan, di dada sebelah kiri baju batik yang dikenakan Syamsuar ketika itu. Penghargaan Kebudayaan ersebut diberikan karena Pemerintah Siak telah berusaha keras mendorong pemajuan kearifan kebudayaan Melayu Siak dengan spirit Siak The Truly Malay.
Tidak pantaskah itu diapresiasi sebagai upaya menjulang Melayu dan kebudayaan? Singkatnya, sejumlah prestasi yang didapatkan sepadan pula dengan dua periode Syamsuar menjadi Bupati Siak.
Pada tahun 2019, Syamsuar diamanahkan menjadi Gubernur Riau. Beberapa bulan bertugas, Syamsuar mengeluarkan SK Kurikulum BMR No. 921/2019, tepatnya pada tanggal 9 Agustus. Hal ini diiringi dengan surat edaran kepada bupati/wali kota serta SMA/SMK pada tanggal 22 Agustus 2019 tentang keharusan melaksanakan BMR.
SK dan edaran itu menyebabkan BMR dapat diajarkan, diiringi pula dengan Pergub dan Perwako di delapan kabupaten/kota tentang BMR dalam dua tahun ini.
Dijiwai rasa kemelayuan Syamsuar yang sangat tinggi, sebab Melayu indentik dengan Islam, perjuangan konversi PT Bank Riau Kepri (BRK) menjadi syariah menuai hasil pada tanggal 19 Mei 2022 lalu, dan hal ini ditandai ketuk palu Perda PT BRK Syariah oleh DPRD Riau. Begitu juga pembanguan Islamic Centre, dan tunjangan 1.000 hafiz se-Riau.
Dalam merealisasikan Visi dan Misi Gubernur Riau, keadaan memerlukan sikap bijaksana, sebab dunia dilanda pandemi yang dahsyat. Bahkan Syamsuar pun sempat dua kali terpapar dalam aktivitas tugasnya sebagai gubernur.
Peristiwa dan persoalan serupa ini belum pernah terjadi selama 65 tahun Provinsi Riau dibentuk. Ia dihadapkan pada masalah global. Apakah kemudian masih pantas menjadikan pembangunan infrastruktur dan bermegah-megahan secara fisik sebagai parameter capaian spektakuler? Sementara banyak persoalan dasar di bidang kesehatan dan ekonomi yang harus ditanggulangi.
Belum lagi keberlangsungan pendidikan generasi yang perlu diarifi dengan berbagai kebijakan. Lalu mencuatnya persoalan LAM Riau baru-baru ini, dianggap bahwa Syamsuar sebagai payung panji adat telah membuat lembaga ini berujung di pengadilan sebagai kenyataan yang menyurutkan Melayu?
Apakah sebelum Syamsuar menjadi gubernur persoalan-persoalan adat dan ke-Melayu-an khususnya di internal LAM Riau tidak ada? Banyak hal yang sudah terlanjur terjadi sebelum beliau menjadi gubernur, dan di masa-masa ini potensi pertelagahan itu memuncak lalu meledak. Apalagi tokoh yang selama ini menjaga marwah Melayu dan disegani di LAM Riau sudah tiada.
Seharusnya dengan kehilangan sosok tokoh itulah yang membuat Melayu bersedih. Adapun kemudian jika Syamsuar terkesan berpihak, tentu sangat berdasar dan bukan memaksakan kehendak seperti anggapan di dalam opini pemerhati sosial kemasyarakatan dan infrastruktur Riau itu.
Tulisan ini hanya reaksi biasa untuk menanggapi kebiasaan seseorang ketika lupa dengan catatan-catatannya di masa lalu yang hari ini kurang pas diucapkan. Terutama dalam mengungkapkan pandangannya kepada Pemerintah Provinsi Riau.
*Penulis adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR)