RIAUMANDIRI.CO - Politisi NasDem di Senayan Rudi Hartono Bangun tidak ingin Indonesia mengalamai nasib sama seperti Sri Lanka yang dinyatakan bangkrut karena tak bisa memenuhi kewajibannya membayar utang.
Masyarakat Sri Lanka melakukan aksi protes sebagai buntut dari krisis negara itu. Hal itu pun membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa bakal mengundurkan diri dari jabatannya pada 13 Juli mendatang.
Karena itu, Rudi Hartono Bangun mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam mengelola utangnya.
“Pemerintah Indonesia harus lebih awas dan waspada melihat kondisi ekonomi Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan. Jangan sampai nantinya beban utang negara makin besar dan uang untuk membayar utang dan bunga tidak siap, sehingga berakibat seperti (kebangkrutan) Sri Lanka,” kata Rudi, Selasa (12/7/2022).
Anggota Komisi VI DPR itu mengingatkan, tata kelola pemerintahan dalam hal kebijakan memberikan subsidi harus menjadi perhatian Pemerintah Indonesia.
Menurutnya, subsidi energi cukup berkontribusi pada kenaikan utang pemerintah. Bila penerimaan negara tak cukup membendung subsidi energi, utang jadi solusi satu-satunya.
"Di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi dan dan penerimaan yang belum optimal di Indonesia, pengalaman Sri Lanka harus menjadi perhatian bersama bagi pemerintah," katanya.
Dia mengakui, pemulihan ekonomi Indonesia dari pandemi memang berangsur membaik. Kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi juga cukup berpihak ke masyarakat.
"Tapi kita juga harus lihat, sebagian besar uang negara saat ini digunakan untuk subsidi, BBM salah satunya. Dirut Pertamina juga sudah pernah bilang, harga keekonomian BBM seperti Pertamax dan solar sudah meningkat tajam karena harga migas dunia naik. Nah kalau uang sudah enggak cukup, berarti harus nambah utang. Tata kelola utang ini yang pemerintah harus bijak,” tegas legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara III itu.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada akhir Mei 2022 mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,88 persen.
Belanja subsidi pada 2022 membengkak jadi Rp578,1 triliun akibat kebijakan pemerintah yang menahan harga bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg dan tarif listrik di bawah 3.000 VA.
Anggaran belanja subsidi semula sebesar Rp207 triliun, namun diubah menjadi Rp283,7 triliun. Namun dikarenakan konsumsi energi yang meningkat, maka subsidi bisa mencapai Rp284,6 triliun.
Pemerintah juga harus membayar kompensasi kepada PT Pertamina dan PT PLN karena sudah menahan harga dalam dua tahun terakhir sebesar Rp293,5 triliun.(*)