RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak pemerintah menghapus dualisme pasar dan disparitas harga minyak goreng (migor) curah karena bisa menimbulkan kompleksitas dan masalah baru.
"Ini akan membingungkan masyarakat sekaligus membuka peluang bagi terjadi kebocoran dari pasar resmi migor ke pasar tidak resmi. Ujung-ujungnya yang dirugikan adalah masyarakat juga. Mereka tidak mendapatkan migor yang didistribusikan secara resmi oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET)," kata Mulyanto, Rabu (29/6/2022).
Apalagi politisi PKS itu menengarai volume migor curah yang dipasarkan secara resmi oleh pemerintah kalah jauh dengan volume migor curah di pasar tidak resmi. Akibatnya yang mendominasi adalah pasar tidak resmi.
Menurut Mulyanto, selama dualisme pasar ini berlangsung maka akan sulit harga migor curah turun mencapai HET. Apalagi kalau tata-cara pembelian migor curah di pasar resmi pemerintah dipersulit dengan berbagai persyaratan, seperti penggunaan aplikasi PeduliLindungi atau menyertakan NIK.
Karena itu pemerintah harus mempercepat pembentukan agen resmi migor curah plat merah secara masif dan menyetop distribusi migor curah yang tidak resmi di pasar. Sehingga terbentuk pasar tunggal migor curah.
"Pemerintah jangan setengah hati dan tanggung-tanggung dalam menjalankan tata-niaga pasar migor curah ini. Ini kan terkesan terjadi pembiaran menjamurnya pasar migor tidak resmi dengan harga melanggar HET. Kalau ini terus terjadi, sampai kapan harga migor curah mencapai HET?" kata Mulyanto.
Tanpa disadari sekarang ini telah terbentuk dualisme pasar migor curah. Yakni adanya dua pasar untuk komoditas yang sama dengan harga yang berbeda. Yang satu adalah pasar migor curah berbasis distributor/agen resmi pemerintah dengan harga sesuai HET. Yang kedua adalah pasar migor curah berbasis distributor bebas dengan harga mengikuti mekanisme pasar bebas, yang tidak terkontrol Pemerintah.
Data pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS) nasional tanggal 27/6/2022, menunjukkan, bahwa harga migor curah rerata nasional sebesar Rp. 17.700 per kilogram. Masih di atas HET yang sebesar Rp. 15.500 per kilogram. (*)