Puncak perhelatan akbar peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA), berlangsung Jumat (24/4) di Bandung. Helat akbar ini mengingatkan kita kepada peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1955, yakni pelaksanaan KAA pertama.
KAA awalnya merupakan respons atas situasi dunia pasca-Perang Dunia II. Yakni, munculnya dominasi Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet. Kehadiran KAA saat itu teramat penting dalam situasi global yang sarat dengan agenda politik imperialisme dan kolonialisme. Bahkan KAA telah menjadi wadah diplomasi strategis bagi negara-negara Asia dan Afrika untuk keluar dari kungkungan kolonialisme. Terbukti setelah kesepakatan KAA tahun 1955 berhasil membuat negara-negara Asia dan Afrika memperjuangkan dan memperoleh kemerdekaannya.
Kini, setelah 60 tahun berlangsung, KAA dipersoalkan urgensitasnya. Benarkah KAA memiliki peran penting lagi dalam kancah politik global? atau hanya sekadar napak tilas sejarah alias kongkow-kongkow kepala negara terhadap apa yang dilakukan oleh moyang mereka 60 tahun silam di Bandung. Pertanyaan dan kegelisahan publik Indonesia dan global tersebut harus dijawab oleh KAA ke-60 dengan melahirkan kesepakatan dan kebijakan strategis. Terutama, implementasi dan aktualisasi kesepakatan KAA 1955 dengan Dasasila Bandung. Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi fokus kerjasama KAA ke-60.
Pertama, menghapus imperialisme dan kolonialisme. Era sekarang, imperialisme dan kolonialisme telah berubah wujud dan tak jarang menggunakan selubung kebijakan ekonomi dan politik. Oleh karena itu KAA harus mampu melahirkan aksi nyata untuk untuk menghapus segala bentuk neo-imperialisme-kolonialisme. Apalagi di tengah tren politik global, di mana negara adidaya seperti Amerika Serikat berusaha memaksakan terjadinya kutub tunggal dalam berbagai segi, terutama bidang politik, ekonomi dan keamanan. Sehingga dalam perjalanannya akan berdampak buruk terhadap negara-negara berkembang.
Kedua, mendorong kerja sama ekonomi. Satu hal titik lemah KAA selama ini adalah respons atas kerja sama ekonomi. Negara-negara KAA seakan sibukkan dengan agenda internal masing-masing negara. Sehingga aktualisasi kerja sama ekonomi dirasa kurang ampuh dibanding kerja sama politik. Padahal negara-negara KAA memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah. Untuk itu kesepakatan Strategi Kemitraan Baru Asia-Afrika atau New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) harus menjadi wahana penting untuk menghidupkan kembali semangat kerja sama di bidang ekonomi. Apalagi realitas ekonomi masyarakat Asia-Afrika masih tertinggal jauh dari negara-negara benua lainnya. Bahkan menurut The Economist, sepertiga bangsa Asia masih hidup di bawah 1,51 dolar AS per hari. Sedangkan Bank Dunia menunjukkan bahwa hampir separuh bangsa Afrika masih hidup kurang dari 1,25 dolar AS per hari
Ketiga, penguatan budaya. Di tengah masifnya infiltrasi budaya-budaya asing terhadap budaya lokal, menjadi pemicu lahirnya perubahan sosial di masyarakat. Akhirnya memunculkan gejala sosial yang tidak baik dalam komunitas masyarakat dan berujung pada masalah sosial. Bila ini terjadi, laju pertumbuhan negara akan terhambat dan tersita waktunya untuk menyelesaikan masalah sosial dan keamanan, akibat konflik sosial yang ditimbulkan infiltrasi budaya. Untuk itu KAA tidak hanya sekadar menjadi ajang karnaval budaya, tapi juga menjadi media kerjasama penguatan budaya dalam rangka memelihara identitas budaya masing-masing negara.
Dasasila Bandung sesungguhnya masih penting untuk menjadi fokus utama KAA. Bahkan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menganggap Dasasila Bandung masih relevan untuk saat ini. Apalagi di tengah situasi konflik politik melanda berbagai negara di dunia. Seperti Palestina, Suriah, Irak dan terbaru di Yaman.
Untuk itu Presiden Joko Widodo harus mampu mengajak pimpinan negara Asia Afrika melahirkan kesepakatan yang strategis. Sebagaimana yang dilakukan Presiden Soekarno pada KAA 1955. Bila tidak, kecurigaan publik bahwa KAA sebagai ajang seremonial dan nostalgia menjadi terbukti. Dan ini merupakan kerugian terbesar bagi KAA khususnya Indonesia. Ajang yang besar tidak berhasil melahirkan kebijakan besar. Maknanya KAA ke-60 hanya menjadi ajang reuni tokoh-tokoh dunia dan merupakan pengkhianatan terhadap Dasasila Bandung yang telah di rumuskan para pendahulu mereka.
Semoga KAA ke-60 benar-benar memberikan harapan baru bagi negara Asia-Afrika dan dunia, bukan menjadi ajang nostalgia, apalagi menjadi wadah neo imperialisme-kolonialisme negara adidaya. Wallahu’alam.
Oleh: Suhardi (Pengamat sosial).