80 Persen Nelayan Indonesia Alami Kemiskinan Struktural

80 Persen Nelayan Indonesia Alami Kemiskinan Struktural

Padang (HR)- Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia Sumatera Barat, Dr Alfian Zein mengatakan hampir 80 persen dari nelayan Indonesia alami kemiskinan struktural.

Kelompok nelayan itu sehari-harinya bekerja menangkap ikan baik di laut maupun di perairan umum lainnya, katanya terkait dengan peringatan Hari Nelayan yang jatuh setiap tanggal 6 April di Padang, Selasa (7/4).
Menurut dia, nelayan dari dulu sampai sekarang masih dikonotasikan sebagai kelompok masyarakat yang berada pada paling bawah dari status sosial ekonominya.
"Nelayan tanpa merasa lelah berjuang dan berkorban turut serta dalam pembangunan ekonomi nasional, terutama dalam proses penyediaan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat yang berasal dari sumberdaya hayati perairan," ujarnya.
Namun, lanjutnya, kelompok nelayan ini tidak pernah menuntut balas jasa kepada masyarakat maupun pemerintah dalam berbagai segi.
Ia menjelaskan, kebijakan pemerintah akhir-akhir ini yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama nelayan, sangat tidak membuat kondisi sosial ekonomi nelayan menjadi lebih baik.
Akan tetapi malah semakin membebani kehidupan mereka atau memperberat kondisi ekonomi. Misalnya saja harga BBM, tarif listrik yang cenderung naik terus mengikuti harga pasar, kenaikan harga tersebut diikuti oleh harga sembako yang merangkak naik juga.
Menurut dia, kondisi ini semakin mempersulit kehidupan nelayan. Bahkan, terakhir Menteri Kelautan dan Perikanan RI menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 tahun 2015, tentang pelarangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik.
Ia menyebutkan larangan ini dirasakan memberatkan bagi sebagian nelayan yang sudah terlanjur menggunakannya. Selain itu, kebijakan ini semakin mempersempit ruang lingkup usaha nelayan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Ia mengatakan dengan kondisi ekonomi yang sulit, maka nelayan akhirnya tidak pernah keluar dari lilitan kesulitan ekonomi dan kemiskinan, karena dalam ketidak pastian berusaha, maka kelompok nelayan akan sangat tergantung kepada dewa-dewa penolong di tepi pantai, antara lain para agen/toke, kreditor dan pelepas uang.
Kelompok-kelompok ini untuk jangka pendek merupakan dewa penolong kehidupan bagi nelayan, namun untuk jangka panjang mereka akan tergantung terus dan tidak pernah lepas dari lilitan/cengkraman kelompok tersebut, sehingga ketika hasil tangkapan diperoleh, hanya dapat digunakan untuk memenuhi hutang-hutang mereka.
Ia menambahkan dampak berantai dari kondisi tersebut memaksa istri nelayan juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Tidak hanya itu, anak-anak nelayan pun kadang-kadang dipaksa untuk ikut serta membantu orang tua mulai dari usia dini dalam mencari nafkah di laut, sehingga tidak sedikit dari mereka harus meninggalkan sekolah (sehingga rata-rata pendidikan di desa nelayan hanya tujuh tahun), sebutnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan terkait dengan peringatan hari nelayan, maka momentum ini sudah saatnya digunakan secara bersama-sama untuk turut memikirkan nasib nelayan.
Ia menyebutkan tugas kita adalah merubah stigma yang selama ini nelayan merupakan kelompok masyarakat miskin, dengan merubahnya menjadi nelayan yang sejahtera.
"Dirindukan nelayan yang makmur, kaya dan sejahtera," ujarnya.(ant/ivi)