Menghijaukan Ekonomi Indonesia

Menghijaukan Ekonomi Indonesia

Setiap tahunnya, tanggal 5 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup se-dunia. Hari Lingkungan Hidup se-dunia ditetapkan dalam sidang umum PBB tahun 1972, untuk menandai pembukaan Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm. Peringatan tersebut ditujukan demi meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif.

Karenanya Hari Lingkungan Hidup se-dunia diharapkan menjadi instrumen penting demi peningkatan kesadaran tentang lingkungan dan mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia. Sebagai milik seluruh masyarakat, hari peringatan ini memberi kesempatan kepada semua orang untuk menjadi bagian aksi global dalam menyuarakan proteksi terhadap planet bumi, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan serta gaya hidup yang ramah lingkungan.  

Untuk tahun 2015 ini, tema yang dipilih adalah Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan Lingkungan. Tema tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang mudah serta membuka kesadaran masyarakat atas pentingnya menyikapi pemanfaatan makanan dan sumber daya alam termasuk pemanfaatan bahan makanan secara bijak.

Persoalan lingkungan tidak dapat dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, namun sangat terkait oleh perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhannya. Perubahan perilaku melalui gaya hidup tentu saja merubah pola ekstraksi sumber daya alam dan energi yang ada. Manusia didorong untuk tidak menggunakan sumber daya alam secara tidak berkelanjutan.

Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) masyarakat di Indonesia sebesar 0,57 yang mengindikasikan masyarakat kita belum berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tentu akan memberikan dampak bagi lingkungan, seperti meningkatnya emisi dari transportasi makanan tersebut dari daerah asal ke tempat tujuan.

Tema tersebut cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam khususnya terkait dengan komitmen Presiden SBY dalam KTT Rio+20 tahun lalu. Lewat pidato yang berjudul ”Bergerak Menuju Keberlanjutan” Presiden SBY menyerukan pentingnya perubahan arah ekonomi serakah (greedy economy) menuju arah ekonomi hijau (green economy). Pidato tersebut direspons positif sebagai bentuk implementasi Indonesia, ketika negara lain masih sibuk mengartikulasikan aspirasi dan ambisi tentang ekonomi yang lebih bertanggung jawab.

Pembentukan Heart of Borneo yang meliputi Indonesia, Malaysia dan Brunei, program REDD+ serta Coral Triangle Iniciative merupakan bukti-bukti nyata jejak ekologis Indonesia. Kerelaan Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 26% untuk mengurangi dampak pemanasan global juga dianggap sebagai bentuk kesigapan Indonesia meskipun terdapat prinsip ”bertanggung jawab sama tetapi berbeda” (common but differentiated responsibilities).

 Tantangan
Terlepas dari nuansa politik yang terjadi, di kalangan pengamat domestik awalnya menyambut antusias dan berharap supaya Presiden benar-benar merealisasikan janji pidatonya. Sayangnya hingga kini belum ada kebijakan besar yang diambil Pemerintah terkait pengelolaan lingkungan. Upaya menyusun ulang kebijakan kontrak-kontrak kerja jangka panjang bidang tambang dengan investor asing yang selama ini dinilai sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah sekaligus hilirisasi industri yang memberikan nilai tambah dan membuka lapangan kerja juga masih terkendala.

Pengelolaan sektor kehutanan di Indonesia juga masih belum optimal. Padahal dengan posisi sebagai negara dengan luas hutan terbesar ke-3 di dunia, Indonesia memiliki potensi signifikan untuk melakukan negosiasi penyelamatan lingkungan global. Perlu dicatat, hutan memiliki peran yang vital dalam menjaga keseimbangan alam dan lingkungan.

Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Indonesia menduduki peringkat ke-14 di atas Perancis dan di bawah Iran dengan sumbangan emisi 378 juta metrik ton gas. Amerika Serikat (AS) hingga kini masih tercatat sebagai negara penyumbang terbesar CO2 di dunia, sebesar 6 miliar metrik ton gas, disusul China dengan sumbangan CO2 5 miliar metrik ton gas, Rusia 1,5 miliar metrik ton gas, India 1,3 miliar metrik ton gas dan Jepang 1,2 miliar metrik ton gas. CO2 adalah salah satu unsur penyumbang terjadinya pemanasan global, yang ditandai dengan meningkatnya suhu 0,2 derajat celcius dalam rentang 2000-2007.  

Peningkatan suhu tersebut menyebabkan jumlah dataran es di kutub utara pada musim semi berkurang secara signifikan, permukaan air laut meningkat 10-15 cm dalam 1 abad terakhir, serta memicu terjadinya berbagai bencana alam baik kekeringan, angin topan, gelombang panas dan banjir di berbagai belahan dunia. Munculnya berbagai penyakit yang sudah punah serta penyakit baru seperti SARS, flu burung dan malaria, juga disinyalir sebagai dampak pemanasan global. Jika kondisi ini terus dipertahankan, di tahun 2050 kenaikan suhu diprediksikan mencapai 3% serta hilangnya lapisan es di kutub, tenggelamnnya 2/3 gugusan pulau di Samudera Pasifik termasuk pulau-pulau kecil dan pesisir yang menjadi wilayah Indonesia.

Selain menjadi paru-paru dunia, hutan juga berfungsi bagi penyediaan sumber air dan bahan makanan bagi manusia. Selain itu hutan juga memberikan habitat bagi ribuan spesies hewan dan rumah bagi puluhan jenis tumbuhan. Hutan Indonesia sejak lama dikenal memiliki keanekaragaman hayati terbesar, sehingga disebut negara zamrud katulistiwa. Karena disinari matahari hampir 365 hari dalam setahun, 11% jenis tumbuhan di seluruh dunia ada dan tumbuh di hutan Indonesia. Dari seluruh mamalia yang ada di dunia, 10% hidup di hutan Indonesia. Hutan Indonesia juga menjadi habitat 16% burung di dunia. Dalam penyusunan konsep Rencana Aksi Nasional/Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN/RAD-GRK), sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang 48% pemanasan global.

 Akibat belum adanya pembaharuan kebijakan sektor kehutanan, laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia terus saja berjalan. Rencana alih fungsi hutan di beberapa kawasan, sejatinya hanyalah sebagian kecil dari berbagai perselingkuhan ekologi lainnya yang tidak terlacak. Kebijakan Pemerintah di sektor kehutanan sepertinya belum mampu memberikan dis-insentif kepada pihak-pihak yang tidak memiliki keperdulian dengan nasib hutan Indonesia untuk terus mengeksploitasinya. Menurut WWF, tahun 1960-an luas hutan Indonesia masih 82% dari seluruh wilayah negara. Sekitar tahun 1982-an, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 68%. Tahun 1995, menyusut lagi menjadi 53% dan kini luas hutan diduga tinggal 49%.

 Masih besarnya beban subsidi BBM dalam APBN beberapa periode yang lalu sempat menjadi persoalan lainnya, mengingat porsi terbesarnya masih teralokasikan untuk jenis BBM fossil fuel. Untungnya sejak tahun 2015 ini, pemerintah secara perlahan dan konsisten mulai melepaskan diri dari jeratan subsidi BBM. Imbasnya, alokasi anggaran infrastruktur meningkat pesat, begitupula alokasi sektor pendidikan dan kesehatan.  

Dengan terus meletakkan iktikad baik terhadap janji Presiden tersebut, dukungan maksimal sepertinya perlu digelorakan masyarakat dan seluruh komponen anak bangsa. Dengan demikian diharapkan Pemerintah akan benar-benar merealisasikan janji-janji tersebut, sehingga ke depannya ekonomi Indonesia benar-benar mampu beralih dari ekonomi yang serakah menuju ekonomi yang berkelanjutan di mana tercipta kelestarian lingkungan selaras dengan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. (kgi)
Pegawai Kementerian Keuangan RI.