Sidang Korupsi RTH Tunjuk Ajar Integritas, Nilai Pembangunan Tahun 2016 Dinilai Tak Masuk Akal

Sidang Korupsi RTH Tunjuk Ajar Integritas, Nilai Pembangunan Tahun 2016 Dinilai Tak Masuk Akal
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Rencana pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas diketahui sudah dimulai sejak 2012 lalu dengan anggaran Rp12 miliar, namun baru terealisasi pada 2016. Meski dibangun dengan dana Rp9 miliar, pembangunan RTH yang berada di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru itu tetap dinilai tak masuk akal. 
 
Demikian terungkap di persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Rabu (2/5/2018). Persidangan tersebut dengan agenda pemeriksaan saksi untuk terdakwa mantan Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Sumber Daya Air (Ciptada) Provinsi Riau, Dwi Agus Sumarno, dan Yuliana J Bagaskoro yang merupakan rekanan proyek tersebut.
 
Adapun saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu Dedi Wahyudi dan Dian Melani yang masing-masing selaku Direktur dan karyawan PT Warda Citra. Perusahaan itu merupakan Konsultan Perencanaan pembangunan RTH Tunjuk Ajar Integritas.
 
Dari keterangan saksi di hadapan yang diketuai Bambang Myanto, diketahui pembangunan RTH sudah direncanakan sejak 2012 lalu. Pembangunan RTH baru dilakukan pada tahun 2016 dengan perencanaan yang dievaluasi atau dilakukan perencanaan ulang oleh Konsultan Perencana dari PT Warda Citra. 
 
"Semua bobrok proyek itu dari perencanaan. Dari perencanaannya kelihatan ini proyek daging namanya. Siapa konsultan awal perencanannnya? Siapa memberi dokumen awal itu? Ada gak saudara pertanyakan," cecar hakim anggota Kamazaro Waruwu kepada saksi Dedi Wahyudi. 
 
Sejak awal perencanaannya tahun 2012 silam pembangunan RTH diketahui senilai Rp12 miliar. Biaya pembangunan ini kemudian berkurang pada hasil perencanaan tahun 2016 menjadi Rp9,6 miliar.
 
Meski turun tajam, hakim anggota Kamazaro Waruwu menilai angka tersebut tidak masuk akal. "Masuk akal gak itu Rp9 miliar? Hanya orang bodoh yang bilang itu harganya Rp9 miliar. Makanya saya tanyakan perencanaan 2012 mana? Kok sampai Rp9 miliar? Hebat kali ini proyeknya, siapa Kadis PU-nya? Rupanya ini saya baru ketemu Kadis PU-nya," katanya mengarah ke Dwi Agus Sumarno.
 
Jauhnya turun selisih pembangunan RTH menjadi bahan pertanyaan hakim. "Dari tahun 2012 ke tahun 2016 itu berapa tahun ? Kecenderungan harga barang naik apa turun?," tanya Hakim Kamazaro lebih lanjut.
 
"Turun, Pak," jawab saksi Dedi Wahyudi.
 
"Kenapa harganya jadi turun ?," lanjut Waruwu mempertanyakannya.
 
Saksi Dedi kemudian menjelaskan mengenai penurunan harga tersebut. Menurut Dedi hal itu terjadi karena adanya pengurangan perencanaan pekerjaan atau pengurangan item di dalam RTH. "Ada pengurangan perencanaan pekerjaan, Pak. Jalan dulunya dua direncanakan, (sekarang) jadi satu," terangnya. 
 
Dalam sidang tersebut juga terungkap fakta terkait upah upah jasa konsultan perencanaan. Dari keterangan dua saksi diketahui PT Warda Citra hanya dibayar Rp49 juta dari nilai proyek pembangunan RTH tersebut sebesar Rp9,3 miliar. Jumlah ini menimbulkan tanda tanya bagi pelaksanaan kegiatan itu.
 
"Berapa saudara dibayar selaku kontraktor?," tanya Hakim Ketua Bambang Myanto yang dijawab Dedi Rp49 juta. 
 
Jawaban itu belum membuat hakim puas. Menurut majelis hakim, nilai yang diterima PT Warda Citra itu sangat kecil, dan tak sebanding dengan resiko pekerjaan. "Ada ketentuan pembayaran ini lima persen kan? 
 
Kenapa saudara mau terima dibayar segitu. Resiko besar ini, bisa masuk penjara juga. Jangan main-main," cecar Hakim Ketua Bambang.
 
Bambang Myanto melanjutkan pertanyaan mengenai pembayaran hak untuk lima orang ahli dalam peruaahaan itu yang bergelar insinyur. 
 
"Pertanyaannya, apa mau mereka yang lima orang ini yang insinyur-insinyur ini dibayar segitu? Dibayar berapa? Harusnya saudara terima Rp450 juta, bukan Rp49 juta," imbuh Bambang Myanto lebih lanjut.
 
Selain kedua pesakitan di atas, persidangan itu juga menghadirkan terdakwa Rinaldi Mugni. Khusus terdakwa Rinaldi mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan JPU.
 
 
Reporter: Dodi Ferdian
Editor: Rico Mardianto