Bela Hak Pekerja Kontrak, Ini Upaya LBHA Riau ke MK

Bela Hak Pekerja Kontrak, Ini Upaya LBHA Riau ke MK
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Sejumlah pasal di dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinilai merugikan hak konstitusional pekerja, khususnya pekerja kontrak. Untuk itu Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum (LBHA) Riau mengajukan Judicial Review (JR) atau uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
 
Adapun pasal yang diuji itu, yakni Pasal 6 yang berbunyi “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”, Pasal 59 terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan Pasal 86 tentang perlindungan pekerja.
 
Dikatakan perwakilan LABH Riau, Missiniaki Tommi, pasal-pasal yang diuji itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya, khususnya UUD 1945. 
 
"Seharusnya pekerja dilindungi hak konstitusionalnya selaku pekerja. Seharusnya pekerja sudah menjadi tenaga kerja tetap, tetapi ini tidak. Pasal ini kita nilai bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28E, dan 28F," ungkap Tommi kepada Riaumandiri.co, Ahad (14/1/2018).
 
Gugatan yang diajukan LBHA Riau itu, sebut Tommi, berangkat dari dugaan pelanggaran hak pekerja dan pelecehan seksual di salah satu bank BUMN di Bukittinggi, Sumatera Barat. 
 
"Awalnya Pasal 86 UU Keternagakerjaan inilah menjadi alasan bagi kami mengajukan JR, karena terjadi pelanggaran asusila terhadap salah seorang pekerja di bank BUMN di Kota Bukittinggi," terangnya. 
 
Lebih lanjut Tommi menjelaskan, jika dalam pasal-pasal ini tidak ada aturan yang menegaskan sanksi bagi perusahaan yang melakukan pelanggaran, termasuk jaminan bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) 
 
"Tidak adanya sanksi dalam UU itu yang mengatur bagi perusahaan yang melanggar ketentuan yang diatur pasal-pasal ini, sehingga inilah yang menjadikan tidak adanya jaminan bagi pekerja," papar Tommi.
 
Dalam Undang-undang tersebut, urainya, tidak ada jaminan bagi pekerja untuk haknya bekerja tetap, malah diikat dengan kontrak yang tidak jelas dengan masa kerja. 
 
"Kontrak outsourcing dengan pihak ketiga untuk dua tahun, dan kemudian tahun ketiga kontrak dengan bank. Setelah itu ada lagi kontrak satu tahunan ke bank. Polanya ini tidak menjamin pekerja yang telah bekerja selama bertahun-tahun diangkat sebagai karyawan tetap," imbuhnya. 
 
Lebih lanjut ia juga menyatakan jika pekerja dengan job deskripsi melakukan tugas tetap, seperti teller atau costumer service tidak bisa dilakukan PKWT. 
 
"Ini seharusnya pekerja tetap, tidak bisa kontrak PKWT," tegas Tommi. 
 
JR ini telah didaftarkan ke MK dengan nomor perkara : 100/PUU-XV/2017, dan telah menjalani satu kali sidang pada tanggal 8 Januari 2018 lalu. Saat ini masih dilakukan perbaikan permohonan yang pada sidang awal masih terdapat beberapa perbaikan atas permohonan sebagaimana yang disarankan majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua, Suhartoyo SH.
 
"Harapan kita tentu ini dikabulkan sehingga seluruh tenaga kerja yang bernasib sama dapat terselamatkan," harapnya menutup. ***
 
 
Reporter : Dodi Ferdian
Editor      : Mohd Moralis