Fadli Zon: Pemerintah Harus Kurangi Agresivitas Berutang

Fadli Zon: Pemerintah Harus Kurangi Agresivitas Berutang
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI Fadli Zon menyarankan pemerintahan Jokowi mengurangi agresivitas dalam berutang. Karena menurut politisi Gerindra itu, ukuran yang sehat untuk menilai normalitas utang bukanlah rasionya terhadap PDB, tapi bagaimana kemampuan bayar serta dampak utang bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat.
 
“Menurut saya, pemerintah harus mengurangi agresivitas dalam berutang. Ukuran yang sehat untuk menilai normalitas utang bukanlah rasionya terhadap PDB, tapi bagaimana kemampuan bayar kita," kata Fadli Zon menyikapi tutup buku laporan kinerja pemerintah tahun 2017, Kamis (4/1/2018).
 
Dia mengutip laporan pemerintah yang menyebutkan realisasi defisit tahun 2017 tercatat Rp345,8 triliun. Secara nominal, realisasi defisit tersebut memang lebih rendah ketimbang realisasi defisit tahun 2016 yang mencapai Rp367,7 triliun.
 
"Meskipun secara nominal jumlahnya turun, namun persentasenya terhadap PDB justru meningkat. Tahun 2016, rasio defisit APBN-P terhadap PDB mencapai 2,46 persen. Tahun 2017, angkanya naik menjadi 2,57 persen terhadap PDB. Selama pemerintahan Jokowi, rasio defisit memang cenderung terus membesar," kata Fadli Zon.
 
Dia membandingkan 2014, defisit masih berada di angka Rp227,4 triliun, atau 2,26 persen terhadap PDB. Tahun berikutnya, 2015, defisit melonjak menjadi Rp318,5 triliun, atau mencapai 2,8 persen terhadap PDB. Antara 2015 ke 2016 persentasenya memang sempat turun, namun sebagaimana yang kita lihat, realisasi defisit tahun 2017 kembali meningkat.
 
“Kenapa kita harus memperhatikan soal defisit anggaran ini, selain karena ketentuan mengenai hal itu telah diatur tegas oleh UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, juga karena pemerintah selama ini selalu menutup defisit dengan menciptakan utang baru, poin yang juga diatur tegas oleh UU yang sama," tegasnya. 
 
Fadli juga melihat sekitar 75 hingga 80 persen pembiayaan defisit APBN memang ditutup oleh utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. "Inilah yang harus kita waspadai, karena saya melihat pemerintah terlalu menggampangkan persoalan jika membahas masalah utang ini,” ujarnya.
 
“Selama ini pemerintah selalu berdalih jika rasio utang kita masih dalam batas aman, karena masih di bawah angka 60 persen terhadap PDB sebagaimana yang dipatok UU. Menteri Keuangan, misalnya, pernah membandingkan rasio utang kita saat ini dengan tahun 2004, saat rasio utang kita mencapai 50 persen terhadap PDB," ulasnya.
 
Fadli juga menilai sikap pemerintah yang keliru yang membanding-bandingkan rasio utang yang masih lebih kecil dengan Malaysia yang mencapai 56,22 persen PDB, Amerika Serikat yang mencapai 107 persen PDB, ataupun Jepang yang bahkan mencapai 239,27 persen PDB. 
 
"Menurut saya, pembandingan semacam itu keliru, karena tidak memperhatikan kemampuan bayar yang berbeda-beda dari negara-negara tadi. Setiap negara memang berbeda kasusnya. Belajar dari krisis utang Eropa, rasio utang sebenarnya bukan merupakan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan sebenarnya dari perekonomian sebuah negara. Belgia dan Italia, misalnya, rasio utangnya terhadap PDB di atas 100 persen, namun mereka tidak menjadi pasien IMF. Sebaliknya, Irlandia dan Spanyol rasio utangnya 40 persen terhadap PDB, tapi keduanya jadi pasien IMF,” ujarnya.
 
Begitu juga dengan Thailand, jelas Fadli, rasio utang Thailand memang tinggi, tetapi di sisi lain rasio pajak mereka jauh lebih tinggi jika dibandingkan Indonesia. Sehingga, kemampuan bayar mereka terhadap utang juga lebih tinggi dari kita. Begitu juga dengan Jepang. Meski rasio utang mereka sangat tinggi, namun rasio tersebut sangat aman karena lebih dari 90 persen utang tersebut berasal dari dalam negeri. Apalagi, sebagian besar surat utang pemerintah dipegang oleh Bank Sentral Jepang sendiri.
 
“Situasi tersebut tentu saja berbeda dengan struktur perekonomian yang kita hadapi. Surat berharga negara kita, misalnya, 37 persen dikuasai asing. Selain itu, pertumbuhan ekonomi kita juga lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi. Padahal, negara-negara yang rasio utangnya tinggi tadi pertumbuhan ekonominya ditopang oleh sektor produksi dan ekspor. Jadi, kondisi strukturalnya berbeda. Rasio utang kita yang lebih kecil tak menggambarkan perekonomian yang lebih hebat atau sejenisnya, sehingga kita harus berhati-hati. “Itu sebabnya, agresivitas pemerintah dalam berutang harus dikontrol," ujarnya.
 
Reporter:  Syafril Amir
Editor:  Rico Mardianto